Hola.. Trip kali ini dilandasi dengan rasa penasaran karena
belum pernah ke Semarang, hehe. Trip ini kami lakukan di bulan Agustus tahun
lalu. Trip ini saya lakukan berdua dengan teman saya, jadi kami berbagi untuk
bayar hotel, sewa sepeda motor dan pesan transportasi online. Kami sering
mendengar istilah bahwa kota ini terdiri dari Semarang bawah dan Semarang atas.
Karena jarak yang lumayan dari kota ke Semarang atas, kami cukup galau juga
menentukan objek wisata yang akan dikunjungi karena kami memutuskan untuk
menyewa sepeda motor selama disana. Berhari-hari rasanya kami membuat list
tempat mana saja yang harus dikunjungi beserta kuliner yang perlu dicoba.
Kami berangkat dari Surabaya menuju Semarang menggunakan
kereta api Maharani (ekonomi) yang berangkat dari stasiun Pasar Turi tujuan
Stasiun Tawang seharga IDR 50.000. Perjalanan memakan waktu sekitar 4 jam 28 menit melewati jalur pantura Lamongan,
Bojonegoro dan sebagainya. Kami berangkat dari Surabaya pukul 06.00 pagi.
Untungnya stasiun Pasar Turi ngga begitu jauh dari rumah sehingga kami bisa
naik taksi online sekitar IDR 15.000. Penderitaan naik kereta ekonomi sih cuma
kaki yang ngga bisa leluasa, tapi untungnya waktu berangkat bangku di depan
saya kosong. Pemandangan sepanjang jalan didominasi dengan kebun-kebun dan
sawah yang kering serta pepohonan yang jarang. Karena musim kemarau di luar
terlihat super panas, tetapi di dalam kereta lumayan dingin AC nya. Kami tiba
di Stasiun Tawang sekitar jam 11.30 siang dan langsung ditelponin mas yang
sewain sepeda motor. Kami menyewa sepeda motor sekitar IDR 75.000 per hari.
Kami mendapatkan Honda Vario dengan 2 helm dan 1 jas hujan.
Selama di Semarang, kami hanya bergantung pada mbak-mbak
Google Maps, karena kami benar-benar belum pernah ke Semarang. Selama membaca
review beberapa blog dan bertanya ke beberapa orang, banyak yang bilang kalau
jalanan di Semarang itu lumayan membingungkan karena banyak yang satu arah dan
kalu salah bisa muter jauh. Berdasarkan asas “relax aja” dan “whatever will be,
will be”, kami tidak terlalu takut untuk nyasar. Bisa dibilang, kami hanya
beberapa kali saja menanyakan ke penduduk sekitar, paling cuma tanya masjid
terdekat dimana.
Setelah bertemu dengan dua mas-mas (atau dedek ya) di depan
stasiun dan sertijab (serah terima jabatan) Honda Vario, dengan agak bingung
kami bertanya, “Mas, kalo dari sini ke Ibis Budget daerah Pierre Tendean lewat
mana ya?”, kemudian mas-nya menjelaskan dengan semakin bingung, oke fine.
Awalnya kami mencari makan siang (karena belum sempat sarapan huhu), di daftar
kami, kami mencari Tahu Gimbal Pak Man di Jalan Plampitan. Karena saat itu long
weekend, kami lumayan menikmati jalanan yang lengang. Setelah ketemu lokasi
tahu gimbal tersebut, kami hanya bisa gigit jari, untung ngga sampai gigit
spion motor.. Karena warungnya tutup, hiks. Akhirnya masih dengan perut
kelaparan, kami langsung check in ke hotel.
Kami memilih untuk tinggal di hotel Ibis Budget di Jl.
Pierre Tendean, karena harganya cukup terjangkau untuk kami share berdua.
Karena kami menginap selama 2 malam, maka masing-masing cuma bayar semalam
sekitar IDR 250.000 aja sudah termasuk sarapan. Meskipun tergolong murah,
fasilitasnya tergolong nyaman buat kami. Bahkan kalau punya kos-kosan kayak
hotel ini, temen saya ngga mau kemana-mana ahahaha. Di dalam hotel itu kita
mendapat 2 single bed, TV sekitar 22 inch (kayaknya), air mineral 2 botol per
hari, toiletries berupa sabun mix shampoo dan handuk. Sandal hotel ngga
include, tapi kita bisa beli sekitaran IDR 5000.
Kesedihan kembali menyelimuti karena kami belum bisa check
in, karena belum ada yang ready kamarnya. Padahal di kereta kami sudah telpon
ke hotel untuk memastikan apakah sudah ready kamarnya, maksud kami sih kalau
belum, kami mau jalan-jalan dulu dan ngga bolak-balik hotel. Akhirnya kami
nongkrong di lobby beserta beberapa kelompok anak muda lain yang sedang
menunggu check in juga. Karena lapar yang mendera, akhirnya kami memutuskan
untuk pesan Go Food tahu gimbal dekat hotel. Bumbunya sih antara mirip pecel
sama tahu tek Surabaya tetapi dengan isian gimbal udang. Rasanya kami jadi
penasaran di Surabaya ada yang jual tahu gimbal dimana.
penampakan tahu gimbal |
Setelah makan, kami memutuskan untuk sholat dhuhur di Masjid
Agung Jawa Tengah yang jaraknya sekitar 5 Km dari hotel. It’s a huuuuuuge
mosque. Masjid yang ada payung-payungnya kayak di Madinah. Tapi sayangnya pas
kami kesana payungnya lagi kempis, hehe. Pelatarannya sangat luas.
Arsitekturnya unik dengan atap limas mirip rumah-rumah Jawa dan payung ala Masjid Nabawi di Madinah. Ketika kami
sampai di pelataran masjid, kami sudah disambut dengan seorang asatidz yang
sedang menyampaikan dakwah terdengar dari pengeras suara. Feels like home in
Allah’s home. J
Setelah sholat dan berdo’a, kami menuju ke pelataran masjid lagi untuk
foto-foto.
Karena cuaca yang super panas (hampir sama dengan Surabaya),
kami memutuskan untuk segera mandi sesampainya di hotel. Setelah mandi dan
sholat Ashar, sebenarnya kami masih agak bermalas-malasan karena cuaca di luar
panas dan agak lelah juga beraktivitas dari pagi. Akhirnya kami baru keluar hotel
lagi sekitar pukul 4 sore. Kami bergegas menuju Lawang Sewu, ikon terkenal Kota
Semarang yang hanya berjarak 1 Km dari hotel. Karena niat kami kesini cuma
foto-foto, jadi kami tidak menyewa guide.
Kami hanya berkeliling saja, dan beberapa spot memang terasa agak menyeramkan
meskipun disitu kami tidak sendirian. Bangunannya luas dan sangat khas ala
kolonial. Gedung ini dulunya merupakan gedung kantor Nederlands-Indische
Spoorweg Maatschappij. Sekarang
gedung ini difungsikan sebagai semacam museum tentang per kereta api an. Karena
saya paling suka banget lihat foto-fota lawas hitam putih, lumayan menikmati
banget melihat foto-foto sejarah kereta api di gedung ini. Sebuah pengetahuan
yang baru banget. Dan saya baru menyadari saja, ternyata sejarah tentang
Indonesia yang sesungguhnya justru saya pelajari di luar bangku sekolah. Banyak
bagian di dalam museum yang terkesan gelap dan mencekam, terutama di balik
megahnya kaca patri yang menggambarkan keindahan Pulau Jawa,
Selanjutnya, kami memutuskan untuk kulineran di Pasar
Semawis setelah mencari masjid untuk Sholat Maghrib. Di Semawis kami hampir
tidak mendapatkan tempat duduk. Saran saya sih kalau kesana lagi, datang aja
habis Maghrib pas, trus kalau kita datang bareng temen, suruh temen kita duduk
sendiri, trus kita berkeliling secara bergantian. Karena waktu itu pertama kali
kesana maka kami berkeliling bersama dulu sambil memutuskan mau beli apa. Kami
tercengang dengan banyaknya makanan yang ingin kami beli. Konsep pasar ini
cukup unik, semacam pasar kuliner malam di area Pecinan. Kalau di Surabaya
mungkin kayak diadain di Kya Kya/ Kembang Jepun. Dan jalanan Kembang Jepun kan
lebih lebar tuh, kayaknya bisa banget dibikin kayak Semawis ini. Suasana
Pecinan di Semawis ini semakin terasa ketika ada beberapa orang tua sedang
berkaraoke menyanyikan lagu berbahasa Cina. Makanan yang dijual juga beragam,
ada bakar-bakaran BBQ, Gurita bakarnya recommended banget, makanan tradisional
Pisang Plenet juga ada. Meskipun kami hanya makan printilan-printilan begitu,
ternyata kenyang juga. Semakin malam, pasar semakin padat dan susah dibuat
jalan. Akhirnya kami pulang setelah kekenyangan.
Sepulang dari Semawis, kami tawaf mengelilingi kota lama
untuk survei lokasi, tempat mana yang akan kami kunjungi keesokan harinya. Sampai kami
pun sempat mencetak tiket kereta di Stasiun Tawang untuk pulang ke Surabaya. Suasana kota lama dimalam hari juga creepy. Meski
begitu banyak terdapat penyedia jasa pijat capek-capek di pinggir jalan.
Telihat beberapa orang sedang berbaring sambil dipijit diiringi angin malam
yang semilir. Mereka hanya beralaskan tikar di pelataran bangunan lama,
terlihat juga beberapa pemijit yang sedang terdiam menunggu pelanggan.
Tiba-tiba kami tidak sengaja berhenti di dekat salah satu pemijat, karena suasana
yang remang-remang, kami melihat sekeliling samar-samar. Beberapa pemijat ada
yang memanggil kami, ada juga yang memandangi gerak-gerik kami. Serem guys,
tempatnya remang-remang, takut dicolek jin.
Keesokan harinya kami bersiap untuk pergi agak jauh, ke
Cimory on the Valley di Semarang atas. Jaraknya cukup jauh dari hotel kami,
sekitar 30 km atau ditempuh kira-kira 1 jam. Kami berangkat sekitar pukul 08.00
pagi. Jalanan ke arah Cimory lumayan nyaman beraspal tetapi naik turunnya juga
lumayan bagi kami yang cuma biasa berkendara di jalanan kota. Kita perlu berkendara
dengan hati-hati karena banyak truk lewat di daerah ini dengan kecepatan yang
lumayan. Setelah sampai di Cimory, kami disambut udara yang sejuk, meskipun
tetep aja panas. Tapi lumayan terasa hawa pegunungannya. Di sini kami
berkeliling buat foto-foto, terdapat banyak hewan-hewan seperti kuda poni,
kura-kura, domba, dan kelinci. Selain itu kami juga sempat makan-makan di
restorannya yang unik.
Sarapan di Cimory Restaurant |
Masjid Istiqomah Ungaran |
Sesampainya di kota, kami segera meluncur
ke Jalan Karanganyar, di depan SMA Loyola. Terdapat penjual lekker yang
terkenal dan dari kejauhan terlihat dikerubungi banyak pembeli. Terkenal dengan
nama Lekker Paimo, review-nya di media sosial dan internet juga
bagus. Awalnya kami dikagetkan dengan antrian yang begitu panjang. Begitu
datang, kami menulis pesanan di kertas lalu ditumpuk di depan bakulnya (kayak
ngumpulin kertas ujian aja), lalu mereka akan memanggil kita begitu pesanan
sudah siap. Kami antri dari jam 1 siang sampai dengan hampir jam 3 sore belum
juga dipanggil. Kebanyakan yang antri adalah anak-anak muda yang sepertinya
berasal dari luar daerah Semarang, karena logatnya lebih ke Jakarta an
gitu.
Daripada menganggur nunggu disini doang,
kami pun meninggalkan bakulan tersebut menuju kota lama. Dengan perasaan yang
gambling, kalau kami kembali bakulnya sudah pergi kami ikhlas. Kami
memutuskan Sholat Ashar di dekat kota lama, disana ada koramil atau semacamnya.
Kami melewati beberapa pedagang barang-barang antik saat perjalanan menuju
musholla. Bahagianya kami merasakan musholla super bersih dan ber
AC. Begitu nikmatnya hembusan AC setelah seharian dibawah terik matahari dan
bau jalanan. Kami pun berjalan-jalan di sekitaran Taman Srigunting dan
Gedung Marba. Nampaknya di depan Gedung Marba masih dalam proses
renovasi.
Gereja Blenduk / GPIB Immanuel |
Setelah
selesai berfoto-foto, kami pun kembali ke Paimo. Memang rezeki tidak kemana,
begitu sampai disana, ternyata pesanan kami masih akan dibuatkan. Saya memesan
lekker isi tuna dan telur, enak bangeet. Kalau disini sih, lebih menyarankan
untuk pesan lekker yang isinya rasa asin alias telur dengan bermacam pilihan yang
lain. Kalau yang rasa manis nya seperti nutella atau keju atau pisang, saya sih
lebih suka lekker yang sering dijual depan SD di Surabaya, karena relatif lebih
murah dan enak.
Sepulang dari Paimo kami sempat Sholat Maghrib di sebuah
masjid kecil di gang kecil dekat Lekker Paimo. Agak lama juga kami menunggu
orang-orang berkumpul untuk sholat. Kalau di masjid pada umumnya, orang-orang
berkumpul dan siap untuk sholat setelah adzan berkumandang pas. Namun disini
kami lumayan agak lama menunggu warga untuk berkumpul sholat berjamaah. Imamnya
juga arabnya agak kejawa-jawaan, kalau kata ibu saya kayak ngajinya orang jaman
dulu. Kalau bilang Alamin jadi Ngalamin.. Setelah hampir satu jam kami di
masjid, sampai-sampai sepeda motor yang tadinya kami titipin tukang parkirnya
Paimo, kami kira akan memakan waktu sebentar karena tadinya kami ninggal pas
mepet mau adzan. Eh ternyata malah dia nungguin kita dan bakulannya udah kabur
tak berbekas hahaha. Gini banget ya antri beli lekker.
Selanjutnya kami meluncur ke Toko Oen. Tempatnya cukup
memenuhi syarat atas imajinasi saya tentang restoran jaman dulu. Apalagi saat itu di
seberang meja kami ada sekeluarga berwajah kebaratan (kalau dari bahasanya sih
mereka ngomong Bahasa Belanda. Maklum gini-gini saya pernah ambil kuliah Bahasa
Belanda meskipun paham sekadarnya). Mereka terlihat asyik menikmati makan malam
lengkap dengan anak-anak mereka yang berlarian kesana kemari. Pemandangan itu
di tempat bersejarah ini membuat suasan semakin terasa jaman dulunya. Cuman,
mbak waitress nya agak jutek sih dan sekeluarga di sebelah kami juga sempat
mengalami hal tidak mengenakkan. Mbaaak, kita kan juga bayar sih mbaak, pake
duit L.
Tapi kami tidak terlalu memperdulikan pelayanannya sih (apakah mungkin karena
wajah kita yang kayak cabe-cabean seharian dibawah terik matahari yang terlihat
tidak mampu makan di tempat ituhh, sedih). Kami cukup menikmati es krim dan
bitterballen nya. Tapi yang aku ingat malah bapak parkirnya yang baik banget
hehehe.
Setelah puas berkeliling seharian, kami kembali ke hotel dan
temenku udah di whatsapp terus sama mas-mas yang ngambil sepeda motornya.
Agenda kami selanjutnya adalah pesan Go Food Nasi Goreng Babat Hengky yang
terkenal itu. Sesampainya di hotel, bapak nya curhat karena antriannya panjang
(karena masak menggunakan arang) dan bapaknya sudah ditelponin istrinya kenapa
ga pulang-pulang. Aduh, maaf banget pak. Kami pun dengan lahap menghabiskan
nasi goreng yang porsinya buanyak itu sambil nonton pembukaan Asian Games.
Nasi Goreng Babat Hengky |
Hari terakhir di Semarang kami sempatkan untuk beli
oleh-oleh. Kami memesan Go Car ke Pasar Pandanaran. Kami membeli Otak-otak
Bandeng dan Bandeng Presto. Antriannya panjaaang banget. Kami juga sempat
membeli lunpia Semarang. Kami juga sempat nonton TV sambil makan lunpia sebelum
bergegas ke Stasiun. Kita malah asyik nonton Film Doraemon sama Drama Korea The
Heirs yang lagi tayang di TV.
sarapan terakhir di hotel |
* Semua foto diambil dengan Xiaomi Redmi 4A