Baru-baru ini aku sangat ingin memanggil ayah dengan sebutan abati. Karena aku ingin menunjukkan rasa hormatku yang paling tinggi. Sebagaimana Nabi Yusuf memanggil ayahnya dengan sebutan, "Yaa abati". Setiap membaca Al-Qur'an pada kata-kata 'Yaa Abati', pikiranku mengenang ayah.
Ayahku sayang, Pak Iyeng, nama yang kupakai untuk memanggilmu saat aku belum bisa mengucapkan huruf 'r'. Nama panggilan itu adalah plesetan dari kata ireng atau bahasa Jawa dari hitam. Karena warna itu adalah warna kulitmu yang terbakar matahari karena memanjat tingginya pencakar langit di pembangkit listrik. Pak Iyeng, orang yang selalu membuatku menangis, karena bangga.
Engkau adalah laki-laki yang selalu membuatku menangis haru. Di awal masuk bangku kuliah, aku selalu sedih melihatmu menungguku selesai kuliah, bahkan menungguiku selesai ujian. Aku belum bisa naik sepeda motor waktu itu, engkau mengantar jemput dan menungguku di depan Gazebo FIB seperti biasa.
Salah seorang temanku berkata, "Bapakmu terlihat semakin sepuh".
Aku bersikeras memohon kepadamu agar aku berangkat kuliah sendiri agar engkau tak kesulitan. Aku ingin sekali mandiri tanpa merepotkanmu. Tetapi engkau bilang ingin mengisi waktu luang, duduk-duduk di gazebo kampus sambil menungguku. Aku tidak mengikuti banyak kegiatan di awal-awal tahun kuliah karena takut merepotkanmu. Di tahun kedua, aku malah sering pulang terlambat karena sudah bisa pergi kemanapun dengan sepeda motor matic. Selain itu, aku mempunyai banyak kegiatan di kampus.
Berapa umurmu sekarang, ayah? Di KTP tanggal lahirmu tertulis 13 November 1949. Engkau sering menceritakan banyak hal padaku, tentang bangunan-bangunan kolonial, trem, dan beberapa kosakata Bahasa Belanda yang akrab dengan lidahmu. Engkau sendiri bahkan tak pernah melihat ayahmu, tak pernah merasakan belaiannya. Maafkan aku, yang sering bertanya mengapa aku tak pernah merasakan kasih sayang seorang kakek.
Ayah adalah anak terakhir dari rahim nenek. Banyaknya jumlah anggota di keluarga ayah, tak membuatnya patah semangat untuk sekolah. Nenek Aisyah, seorang penjual sabun, ayah membantunya dengan berkeliling berjualan sabun juga. Ia membawa buku kemanapun pergi, sambil belajar. Ayah, apakah aku anak yang malas? yang selalu belajar semalaman sebelum ujian? Ayah pernah bilang dulu kadang merasa iri dengan anak seusianya yg ditemui di jalan sedang minum susu, misalnya. Karena setiap pergi ke sekolah, ayah selalu memakai ikat pinggang yang erat, agar tidak merasa kelaparan. Terus bertahan seperti itu. Melanjutkan pendidikan SMK, buatnya sudah cukup, sebagai anak yang berasal dari keluarga kurang mampu. Diterima di sebuah sekolah kejuruan teknik, di daerah Pirngadi, yang sekarang bernama SMK Negeri 7 Surabaya. Ayah memiliki cita-cita yang kuat, untuk dapat mengenyam pendidikan yang cukup, demi mendapatkan pekerjaan yang baik, dan satu lagi cita-citanya, untuk membuat anaknya bisa mendapat pendidikan yang tinggi, lebih tinggi dibanding ayahnya sendiri. Kemudian ayah diterima di sebuah perusahaan listrik.
Pada bulan Agustus tahun 1991, ayah masuk rumah sakit, lengan kanannya dioperasi karena tiba-tiba lumpuh, di bulan itu juga aku terlahir ke dunia. Di bulan Agustus pula pada tahun 2011, adalah bulan yang berat buatku. Ayah masuk rumah sakit, bahkan saat dimasukkan ke dalam taksi menuju rumah sakit, ayah tidak bisa berjalan. Ia banyak terdiam, suhu badannya panas, entah penyakit apa yg dideritanya, tak ada penjelasan yang pasti. Dokter menyarankan untuk opname. Selama berhari-hari ayah tak sadarkan diri, mengigau tak karu-karuan. Jujur, ini berat buatku. Karena tak pernah sekalipun dalam hidupku, melihatnya sakit tak berdaya, bahkan sampai infusnya tercabut saat tidur, darah bermuncratan dimana-mana, juga di kacamataku. Setiap pulang dari rumah sakit, aku bergumam lagu kesukaanmu, Hey Jude. Di bulan puasa itulah, Tuhan memberi cobaan yang menjadi awal bagiku diantara sekian banyak cobaan yang akan kulewati sesudahnya. Meski begitu, aku belum bisa hidup tanpa ayah. Aku bahkan sempat berpikir bahwa anak tunggal itu seharusnya laki-laki, supaya bisa melindungi keluarganya jika terjadi musibah. Aku hanya bisa berdo'a agar ayah cepat sembuh. Tuhan mengabulkan doaku.
Saat ini, apa yang menjadi cita-citaku, menjadi cita-cita ayah juga. Ia tak pernah membuatku kecewa. Apapun yang kulakukan, selalu diberikannya dukungan. Tapi satu yang selalu kuingat darinya: Semua makanan, dan jerih payah yang halal, akan memberikan hasil yang baik. Ia menuntut dirinya sendiri agar menjadi manusia yang jujur dalam bekerja. Kerja keras ayah semasa muda, selalu membuatku bercermin, perjuanganku bukanlah apa-apa dibanding semangatnya meraih cita-cita.
Pak Iyeng, yang berkulit hitam karena sejak muda pekerjaannya memanjat tiang listrik. Maafkan aku yang hari ini bukan siapa-siapa, jika suatu saat nanti aku berhasil, itu karena engkau yang mengajariku untuk menabung perbuatan baik, untuk mendapatkan hal-hal yang baik. Juga karena ibuku yang keras, dan mengajariku untuk tegas dalam hidup, dan kuat seperti mereka. Jangan tanya siapakah manusia yang paling kuat versiku, karena jawabanku adalah ayah dan ibu, orang-orang yang sederhana dan kuat dalam menjaga prinsip hidup, serta tahan banting dengan cobaan-cobaan yang mereka lalui bersama. Senang berada di tengah-tengah mereka sambil menertawakan gigi ayah yang sudah ompong, kebandelan ibu mengkonsumsi gula, sampai tentang baju kembaran mereka sewaktu pacaran. Kami juga memperdebatkan baju yang akan mereka pakai di hari wisudaku. Harus dengan warna senada.
Ayahku sayang, sampai saat ini aku masih menangis di penghujung sholat-ku. Aku akan selalu mendoakanmu tiada henti. Semoga Allah menyayangi dan mengasihi engkau selalu sebagaimana yang telah engkau lakukan kepadaku sejak aku masih sangat kecil dan tak berdaya.
-------------------------------------
I wrote these short paragraphs in 2013. It was before my father was finally hospitalized again so many times due to lymphatic cancer. The struggling began in 2014. After 3 years of continuous chemotherapy, he passed away on 26 August 2017. I pray to Allah every day, that we will be gathered in Jannah someday.
I wrote these short paragraphs in 2013. It was before my father was finally hospitalized again so many times due to lymphatic cancer. The struggling began in 2014. After 3 years of continuous chemotherapy, he passed away on 26 August 2017. I pray to Allah every day, that we will be gathered in Jannah someday.
Well, today is the day you were born, I love you. Thank you for being my father.