Aku bersembunyi di balik pohon pisang. Daunnya yang panjang menyibak rambutku. Batangnya yang kurus tak akan menyembunyikanku secara sempurna. Tapi apa boleh buat, aku butuh perlindungan. Pagi itu ia datang ke rumahku, menaruh selembar kertas dan sebatang bunga mawar yang ujung batangnya digunting dengan gunting tumpul. Bagian itu memperlihatkan sebatang bunga mawar yang terluka. Juga dua ekor semut yang lalu lalang pada duri-duri kecilnya.
Krisna. Itulah nama yang ia perkenalkan saat pertama kali melihatku. Kami saling mencuri pandang pada sebuah ruang tunggu dokter yang putih dan dingin. Ia duduk bersebelahan dengan ransel-nya yang setengah terbuka, dengan rambut acak-acakan, celana pendek, kaos biru, dan sepatu kanvas. Ia terlihat muda. Hanya ada aku, ibuku, dan ia pada senja itu. Kami semua sama-sama duduk terdiam. Hanya tabung televisi yang terpasang di atas, sibuk berbicara sendiri, memberantakkan ruangan yang dingin berbau pewangi AC. Dokter akan datang pada setengah tujuh malam, satu jam lagi. Aku hanya akan menujukan mataku pada lembaran-lembaran yang kesepian di hadapanku, berbicara pada otakku tentang teori Panopticon oleh Baudrillard. Dimana ada sistem seperti penjara yang akan mengawasi orang-orang tanpa mereka sadari. Itulah yang dilakukan Krisna saat itu. Lalu wajahnya nampak tak sabar dan menepi duduk disebelah ibuku. Televisi masih sibuk berbicara tentang kehidupan seorang anak yang terlunta-lunta akibat kehilangan tangan kanannya, dan harus membantu neneknya bekerja. Tak ada ayah, tak ada ibu.
"Kasihan ya anak ini"
"Ya, mungkin pelajaran agar kita bersyukur, ada banyak orang yang lebih menderita", ibuku menyambut suara anak muda itu.
"Mmm... Dokter biasa datang jam berapa ya bu?", aku tahu ia hanya berpura-pura bertanya. Tidak mungkin ada orang datang se-sore ini pada hari pertama berobat kemari. Mereka biasanya terlambat kemudian menemukan ruang tunggu yang sangat penuh. Oke, Baudrillard, Baudrillard, aku fokus mendengarmu.
"Jam setengah tujuh sampai jam tujuh, ini mas-nya yang sakit atau?"
"Ya, mungkin aneh, saya masih muda tapi sudah ke dokter ahli jantung"
"Beneran?"
"Hehe, saya ngantriin ibu saya"
"Ooh, pantesan"
"Ibu sendiri?"
"Saya diabetes, jantung, darah tinggi"
"Wah mama saya juga. Jadi, dikit-dikit mikir"
Mereka terdengar sangat akrab. Kali ini bukan hanya televisi yang berbicara. Bisa diduga selanjutnya apa yang terjadi, kami saling tersenyum, berpamitan, dan saling mendapatkan user name twitter masing-masing. Aku masih belum tahu siapa orang ini, tapi kami menghabiskan malam-malam selanjutnya di depan layar putih dengan huruf-huruf yang berlalu lalang cepat sampai pelan.
Dulunya hanya ada secangkir bening kopi terhidang di atas meja kantin. Teman-temanku menyebutku tua, karena tidak meminum susu coklat atau es teh. Kemudian datanglah laki-laki yang kutemui di sebuah ruang dingin itu, yang ternyata kuliah di universitas yang sama denganku. Pagi-pagi selanjutnya akan ada dua cangkir bening kopi. Kami menyatakan saling suka, dan kami sepakat menyebut ini sebuah hubungan resmi, official relationship! Kemudian, semuanya tumbuh secara cepat, melesat seperti busur panah yang akhirnya menusuk korbannya tepat sasaran. Tawa yang dipercepat dengan tombol fast forward berganti dengan adegan dimana hujan turun terlalu sering. Dan membawaku berdiri ketakutan dibalik pohon pisang ini.
Di malam-malam sebelumnya, aku melihatnya bergandengan tangan di sebuah padang hijau yang menjadi hitam di malam hari. Perempuan yang disampingnya itu selalu memakai pakaian putih, lebih lusuh dari yang biasa kupakai. Ia biasa duduk diantara dahan beringin dan mengayunkan lengannya yang halus sambil menjatuhkan dedaunan untuk mengagetkan siapapun yang duduk dibawahnya. Apakah aku bisa memanggilnya sebagai orang ketiga? Entahlah, tapi wujudnya setengah khayal. Ditikung manusia saja cukup membuatku menjadi muram dan tak makan berhari-hari. Lalu harus kusebut apa ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar