Halo Igy,
Aku baru saja membolak-balik sebuah album foto kecil di lemari tua, ketika kau difoto bersama ibu. Kau terlihat diam, tak pernah berubah hingga kau dewasa. Sekarang berapa umurmu? Mungkinkah sudah 21? Tentu saja belum, itu umurku yang seharusnya. Terakhir kali aku melihatmu berceracau tentang duniamu yang hampir jungkir balik. Padahal, sejak kecil aku percaya kelak kau akan menjadi seorang perempuan yang manis seperti ibu dan kuat seperti ayah. Kenapa tak pernah kau ceritakan padaku Igy? Kau hanya menangis sekali, itupun sudah lama sekali, menggigit bantal dan selimut semalaman. Aku selalu ingin memelukmu dan menanyakan apa yang terjadi. Kini kau tak pernah menceritakan secara lugas tentang masalah-masalahmu, yang kutahu semua orang menyuruhmu untuk bersabar. Sehebat apakah duniamu terguncang? Yang kutahu, kau hanya lebih diam dari biasanya. Kau tak pernah bernyanyi lagi sambil berteriak-teriak membangunkan tetangga, kau tak pernah menulis lagi, tak pernah menangis di depan cermin seperti dulu, bahkan tak pernah membaca buku bersama denganku. Kemana kau pergi Igy, seakan-akan yang kutemui tiap hari bukanlah kamu.
Aku baru saja membolak-balik sebuah album foto kecil di lemari tua, ketika kau difoto bersama ibu. Kau terlihat diam, tak pernah berubah hingga kau dewasa. Sekarang berapa umurmu? Mungkinkah sudah 21? Tentu saja belum, itu umurku yang seharusnya. Terakhir kali aku melihatmu berceracau tentang duniamu yang hampir jungkir balik. Padahal, sejak kecil aku percaya kelak kau akan menjadi seorang perempuan yang manis seperti ibu dan kuat seperti ayah. Kenapa tak pernah kau ceritakan padaku Igy? Kau hanya menangis sekali, itupun sudah lama sekali, menggigit bantal dan selimut semalaman. Aku selalu ingin memelukmu dan menanyakan apa yang terjadi. Kini kau tak pernah menceritakan secara lugas tentang masalah-masalahmu, yang kutahu semua orang menyuruhmu untuk bersabar. Sehebat apakah duniamu terguncang? Yang kutahu, kau hanya lebih diam dari biasanya. Kau tak pernah bernyanyi lagi sambil berteriak-teriak membangunkan tetangga, kau tak pernah menulis lagi, tak pernah menangis di depan cermin seperti dulu, bahkan tak pernah membaca buku bersama denganku. Kemana kau pergi Igy, seakan-akan yang kutemui tiap hari bukanlah kamu.
Waktu kita sama-sama kecil aku selalu iri padamu, mengapa hanya kau yang diajak ayah untuk berpose di depan kamera, aku hanya duduk di pojokan kamar kita, menendang mobil-mobilan, memberantakkan semua mainan, karena aku cemburu. Ketika kau berhasil masuk SMP favorit, ayah dan ibu membelikanmu sebuah walkman untuk mendengarkan musik dimanapun kamu pergi, aku segan untuk menyentuhnya, takut mereka marah. Lalu kau membeli banyak kaset yang berisi lagu-lagu sendu, kadang kulihat kamu menangis semalaman karenanya. Tapi mengapa? Duniamu kan sempurna?
Aku tahu mereka Igy, orang-orang lain itu? aku sangat membenci orang-orang itu. Tapi kau selalu berpura-pura mereka adalah orang yang baik, dan diberi Tuhan kelebihan. Sadarlah sayang, mereka yang telah mendikte-mu seakan-akan kau harus seperti mereka. Kau bisa menjadi lebih, Igy. Aku mohon jangan teruskan ini, jangan dengarkan mereka. Mereka bukanlah orang yang menunggumu lahir ke dunia ini setelah berpuluh tahun lamanya, mereka bukan aku yang selalu tahu kamu menangis dalam hatimu, walau tak kutemukan jejak air mata di bantalmu. Igy yang kulihat saat ini bukanlah adikku sayang, keluarkan dia, aku mohon bebaskan dia.
Lihatlah cahaya sore itu, mengintip jendela kamarmu, ingin menemuimu. Sayang kau tak ada di kamar sore itu. Kakak ingin ceritakan padamu tentang ayah dan ibu yang selalu menantimu pulang, yang selalu mendoakanmu, yang selalu mengusap keningmu saat kau terlelap, yang selalu membelikan banyak makanan sebelum kau pulang, yang selalu cemas ketika terdengar suara tangis dari kamarmu, yang tak pernah berharap kau akan membelikan mereka sesuatu ketika kau dapat rejeki, yang selalu mengingatkanmu untuk belajar dengan sungguh-sungguh, dan mereka adalah segalanya bagimu.
Kau telah belajar banyak, kau telah peduli akan perasaan mereka. Lihatlah suara ayah yang mulai terbata-bata, cara berjalan ibu yang mulai pelan ketika menuruni tangga, sore yang kau habiskan di ruang tunggu dokter. Apapun kesusahanmu, mereka selalu ada untukmu. Kaupun ternyata begitu, yang selalu ada saat mereka membutuhkan pegangan, lalu mereka tinggal meraihmu. Aku bangga padamu Igy.
Aku selalu mengingatkanmu dalam setiap tidurmu, mereka hanya punya kau, Igy. Itulah mengapa mereka tidak pernah memberiku apa-apa selain do'a.
Aku hanya ingin kau keluar dari bayangan dari sisi gelapmu, dan berjalan menuju cahaya sore yang menembus ranting-ranting pohon. Aku akan mengajarimu bermain gitar dan piano, dan kau akan menyanyikan lagu untuk kita.
-Kakakmu, Ogi :)
ogy dan igy ya.. lucu:)
BalasHapusinggit salam kenal yaa :)
BalasHapusentah kenapa aku merinding bacanya.
hehehe... makasih komennya temaaan2, iya mungkin ini bikinnya benar2 dlm keadaan galau :P iya not, ogi adalah sebuah nama bersejarah buatku :3
BalasHapus