9.1.12

Suatu Malam di Beranda


Aku. Menghempaskan seluruh beban pikiranku di sebuah beranda tua yang dingin. Badanku sedingin hujan yang menyelimuti dinding pabrik di depan rumah ini. Sinar lampunya menyorot dingin seakan ingin meleburku dalam malam yang bisu, hanya suara kricik-kricik yang terdengar merdu. Duniaku menjadi latah, tiba-tiba ingin menjadi apatis dan dingin. Aku lelah.

Lalu orang tua itu menyapaku dengan jaket coklat, serta sarung biru kotak-kotak mirip motif tartan. Aku hanya peduli dengan ceracau yang dingin tentang hujan, tanpa peduli bahwa orang lain sangat menyukai hujan. Ia duduk disampingku sambil mengancingkan jaketnya rapat-rapat. Tubuh yang senja telah membuatnya agak waspada dengan angin, hujan, dan malam. Namun, ia sering mengatakan tentang kesukaannya pada hujan sambil membayangkan pelita atau lampu minyak yang muncul dari kegelapan, membawa kabar gembira.

"Bagaimana ujianmu hari ini?", ia mulai bertanya.

"Payah! Mana bisa, bahan ujian yang tebalnya hampir seratus halaman, yang keluar waktu ujian cuma enam soal! Sia-sia aku begadang semalaman! dari yang kupelajari, justru yang nggak aku paham malah yang keluar!"

"Anak muda memang suka begitu, kurang berdo'a dan kurang bersyukur"

"Ah! Memang dosennya aja yang nggak masuk akal"

"Yah namanya saja kuliah. Hei! Nanti... kalau kamu sudah jadi dosen, kamu juga pasti akan jadi seperti itu. Ah! Ibu itu lho kalau ngasih soal suka bikin mahasiswanya tertipu", ia mengucapkan kalimat terakhir dengan muka mirip seekor bebek, menyebabkan keriput di wajahnya berkumpul di sekitar bibirnya.

Tetapi aku diam. Tak ada gunanya bercerita dengan orang ini. Ia tidak tahu betapa kecewanya aku malam ini. Ia pasti akan menyalahkanku, seakan-akan salahku sendiri tidak belajar dengan sungguh-sungguh. Ah! Aku benci mata kuliah ini. Tapi, setidaknya aku harus lulus mata kuliah ini, nilaiku semester ini harus lebih baik dari semester sebelumnya. Mengapa tiba-tiba aku begitu peduli dengan nilaiku? Sementara, aku benci dengan mahasiswa yang sangat peduli dengan nilai mereka. Mereka hanya sibuk belajar setiap harinya, selalu update status di media sosial, aku pusing mengerjakan ini, mengerjakan itu, belajar ini, belajar itu. Sementara aku, harus bekerja sekadar untuk membiayai obat ibuku setiap bulan, membiayai adikku yang masih sekolah. Sedangkan, jika aku tidak peduli dengan kuliah, darimana aku membiayai kuliahku kalau bukan dari beasiswa. Namun terkadang, kerumitan itu menjadi sangat sederhana, jika aku bisa melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. 

"Anak muda jaman sekarang ini memang enak hidupnya"

"Ah, opa pasti mau nasehati ya?"

"Ah, kamu memang suka besar kepala. Maksud opa, dulu waktu aku masih sekolah, mana ada buku catatan yang bisa disimpan? Adanya sabak, batu yang biasanya sekali tulis, hapus, sekali tulis, hapus lagi, itulah kenapa ingatan opa sampai sekarang masih bagus. Bukan kayak kamu, masih muda tapi sudah lekas pikun"

"Pikun?", tanyaku.

"Lupakan! opa juga lupa. Dulu, setiap hari Jum'at itu hari yang menyenangkan. Soalnya, kita diajarin nyanyi, kayak lagu Gundhul Gundhul Pacul misalnya...", ia diam sejenak, lalu mulai bergumam dan menyanyikan lagu itu.

Gundhul-gundhul pacul cul
Gemblelengan
Nyunggi-nyunggi wakul kul
Gemblelengan
Wakul ngglimpang, segane dadi ....

"Opa dulu anak mana?", aku memotong senandungnya.

"Dulu opa anak Skid!"

"Apa itu Skid, opa?"

"Itu nama daerah di dekat Tugu Pahlawan sana, di daerah Tembaan, dulu opa suka sekali numpang trem, gandholan bareng teman-teman, kalau turun loncat dari trem"

"Wah, seperti apa ya wujudnya trem, aku pingin ke Belanda opa, siapa tahu disana masih ada trem"

Aku suka menanyainya dengan kata-kata 'dulu'. Baginya, dulu adalah sebuah kenangan dimana dalam hidupnya ia pernah menjadi sosok orang yang luar biasa. Sama sepertiku, aku menikmati dulu sebagai orang yang luar biasa bahagia. Tapi opa memang benar, aku bukanlah orang yang pantas untuk mengeluh tanpa mensyukuri. Seandainya opa memang benar-benar ada. Aku menyukai kesederhanaannya dan kekanak-kanakannya dalam bercerita.

(Untuk kedua kakekku di surga, jika kalian masih hidup, aku akan bertanya apapun tentang 'dulu', dulu aku hanya anak kecil yang belum memikirkan alur hidup yang berliku)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar