Lebih mudah berdiri gagah tersapu angin yang mengiringi awan teduh. Lebih mudah berdiri gagah secara harfiah. Kupinjam loteng tetanggaku sejenak hanya untuk melihat garis lurus yang terbentang horizontal di depanku. Ia menyerahkan diri terinjak kawanan roda yang hendak menuju ke kota atau ke desa. Aku rasa, kehadiranku di ketinggian ini hanya untuk melihat garis merah yang membentangkan permadani untuk bulan malam ini. Tapi perkiraanku kurang tepat.
Aku hanya ingin melihat langit menyediakan keindahannya untukku. Hal yang sedikit diberikan oleh kehidupan padaku. Apa yang diharapkan dariku. Beberapa waktu yang lalu aku terpana, keperawananku sendiri telah pergi sambil kupegangi erat kakinya. Aku terseret mempertahankannya, namun ia pergi tanpa menangisiku. Ia tertawa dibawah pengaruh senyawa kimia. Lalu pergi sebelum menendangku kemari. Tempat yang kecil dan bising, dimana semua mata ikut menendangku pada sudut yang lembab dan berhantu. Bila hidup terasa pahit, aku menguyah ampas tebu dan tetap menjangkau rasa pahit itu.
Kilasan-kilasan balik itu terus berputar di otakku. Seperti ada yang merekamnya untukku. Seandainya saja kutemukan sejak lama tombol yang bisa kuinjak untuk menghapusnya. Karena layar besar itu bukan hanya memantul-mantul di otakku, namun pada semua otak orang-orang disini. Mereka terus mengejarku. Mereka akan mempunyai nama panggilan baru tentangku di benak mereka masing-masing. Siapa yang peduli. Aku-pun mencoba pergi dari sini sejak televisi sedang bingung menyebarkan kabar bahwa bahan bakar minyak akan segera naik. Aku hanya butuh bahan bakar ingatan.
"Ranti!", dengan cepat kutengok asal suara itu.
"Hei"
"Sejak kapan disini?"
Seorang laki-laki kurus bertelanjang dada memanjatkan kakinya ke atas sini. Ia terlihat lebih tua dari hari kuseret koperku keluar dari ujung jalan itu. Terlebih dulu dinaikkannya sebuah ember penuh dengan baju basah. Sementara di kejauhan mulai terlihat lampu jalan bebas hambatan yang menyala serentak dalam jentikan jari, seketika. Sesaat itu pula, langit menjadi satu nomor lebih gelap. Sambil terus menghembuskan angin terbaiknya, mengobati jiwa-jiwa yang kecewa akan absen-nya gelaran karpet merah sore ini.
"Mmm... Sejak kemarin"
"Sejak kemarin di loteng sini?"
"Ha! Kapan terakhir kali kamu menertawakan kesalahan dalam menangkap maksud dari sebuah percakapan?"
"Wow, santai!"
"Orang-orang masih menganggapku bodoh?"
"Pada dasarnya, mereka sudah melupakanmu"
"Waktu yang menyembuhkannya, ha?"
"Bukan. Karena kamu bukan siapa-siapa"
Siapa bilang aku seorang perawan (tak lagi) yang dipaksa putus sekolah? Aku hanyalah benda diam yang sekian lama berdiri di atas sini. Aku hanya merasa ingin memposisikan diri seperti wanita yang pernah menangis di atas sini, semalaman. Keesokan harinya ia berlagak seperti sedang penasaran dengan anatomi tubuhnya sendiri. Ada sebilah pisau dapur pada tangan kanannya. Kujauhkan pandanganku dari sana. Aku selalu merekamnya, semua yang telah ia ceritakan, pada malam-malam itu. Lalu ia menemaniku selama beberapa bulan setelah tubuhnya terbenam tanah basah di bulan basah. Kadang ia menyesal, ia mengandung udara di perutnya. Tak ada apa-apa disana. Kadang ia merasa semua akan lebih baik jika saja ia membiarkan ada udara mengalir dan menghidupi tubuhnya.
"Penderitaanku, tak ada apa-apa dibandingkan jutaan orang yang mengalami hal lebih buruk dari ini di luar sana. Dan mereka masih bertahan."
"Harusnya, orang-orang yang menerima lebih banyak nikmat dariku, mereka harusnya berbahagia. Kita tak akan bisa menikmati kelebihan nikmat itu sampai ia terenggut paksa dari kehidupan kita"
Namanya Riyanti, ia menangis hebat di usia sembilan belas tahun. Orang tuanya berpisah, ia diperkosa dua hari sebelum ia datang kemari untuk pertama kali. Ia lulus Sekolah Menengah Atas, tak sempat melanjutkan kuliah. Ia ingin menjadi psikolog. Ia terbunuh oleh prasangka, bahwa hidup akan lebih baik ketika mengakhiri selalu menjadi sebuah solusi dari sebuah kecelakaan maut antara realitas dan hal yang menurutnya ideal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar