Selamat sore dunia. Halo langit sembab, sudah berapa hari kau menahan orang-orangmu untuk turun ke bumi. Mungkin para pawang hujan telah menghalangi agar tak satupun tetesan kecil yang rapuh terjun. Demi satu pernikahan atau dua di hari Sabtu atau Minggu. Pada akhirnya, puncak kebahagiaan itu telah berlalu. Senin kembali datang, dan langit kembali sembab. Kalimat yang panjang tentang cuaca mungkin sedikit sama dengan perbincangan basa-basi yang kikuk. Namun setidaknya seperti itulah aku saat ini.
Mungkin aku bukan orang yang sangat tergila-gila dengan hujan. Bagiku tetesan air yang menempel di jendela akan tetap membuat segalanya terlihat sayu. Sama seperti telepon genggam-ku yang tergeletak kedinginan di atas meja kayu, berbaring bersama buku-buku. Layarnya tak berkedip selama aku memandanginya, satu jam ini. Aku menunggumu. Kamu bilang sore ini ingin mendengar suaraku. Sudah kunyalakan komputer-ku dan mengecek mungkin saja kamu sedang aktif di sosial media. Nampaknya kamu sudah meninggalkannya seperti cucian kotor. Semoga kamu tidak berniat membuatku seperti itu juga.
Pertama kali mendengar kamu akan pindah keluar kota, aku hanya terdiam. Sehari sebelumnya, kamu mengajakku ke semua tempat yang pernah kita kunjungi. Kamu juga bercerita panjang lebar tentang siapa saja yang ada disana saat kita melakukan hal-hal bodoh. Kita selalu sepakat, bahwa hal bodoh bukanlah sesuatu yang harus diingkari, setidaknya cukup untuk dikenang. Saat itu kamu menarik tanganku dengan tergesa-gesa seakan ingin aku mengikuti langkahmu dan jalan pikiranmu. Bahwa semuanya akan tetap sama walaupun akan ada banyak hal diantara kita nanti; jalan tol, pepohonan, padang rumput, rumah-rumah, juga genangan air asin. Semuanya tidak cukup kuat untuk memperlemah radiasi diantara kita.
Ini sudah hampir enam bulan, Fer. Matahari sudah tak lagi kuat meneruskan sinarnya sampai sore hari. Ini bukan matahari sore yang menjadi saksi di saat terjadinya perpanjangan jarak diantara kita. Kamu menekan kedua bibirmu kemudian tersenyum. Hanya saat itulah aku merasa matahari masih akan menemaniku, setidaknya kamu menitipkan pesan agar ia terus menjagaku selama kamu jauh.
*Telepon berdering*
Akhirnya, telepon genggamku berkedip! Perasaan mendesir-desir itu musnah ketika kuintip layarnya.
"Halo"
"Kamu nggak lupa 'kan? Besok kita ngerjain konsep dekorasi acara di kampus?", seseorang di seberang.
"Mmm, yah. Kan kamu bisa kabari lewat sms?"
"Mmm, Aku berusaha jadi koordinator yang.."
"Yang punya banyak bonus pulsa, dan bingung cara menghabiskannya"
Yah, itu tadi Toni. Dia suka mendengar suara banyak orang lewat telepon, lalu menebak apa yang mereka rasakan saat itu. Menurut Toni, aku butuh mengedipkan kelopak mataku sedikit lebih cepat. Orang yang merenung cenderung akan memandang satu benda dalam waktu yang lama. Telepon genggam ini mungkin sedang malu kuintimidasi. Mungkin juga ia sedang cemburu pada Ferdi sehingga memilih untuk mengirim nada sibuk daripada suaraku. Ayolah, kemarin Ferdi bercerita tentang perjalannya ke beberapa pantai di pulau tempat ia tinggal. Aku ingin mendengar lebih banyak lagi, misalnya tentang seperti apa bentuk bentos, bulu babi, atau ikan badut. Bukan, mungkin bukan itu. Apakah kamu tidak bosan dengan kata 'baik-baik saja'. Jarak mungkin telah mengeliminasi segala perbedaan yang seringkali kita perdebatkan.
Kurasa banyak juga hal yang hilang terbawa dengan berbagai benda yang ada diantara kita itu. Beberapa hal seperti bibirmu yang bergaris serong ketika sedang kecewa, alismu yang berjingkat ketika sedang menggodaku, gigi tambahanmu yang manis, semuanya tergantikan oleh tanda titik dua sebagai matamu, kurung tutup atau kurung buka sebagai bibirmu, kurung kurawal sebagai kumismu, huruf p untuk memperlihatkan lidahmu, huruf D ketika kamu sedang bahagia. Karakter elektronik telah menggantikan bagian-bagian wajahmu. Suaramu di-korupsi juga oleh kemiskinan sinyal.
*Telepon berdering lagi*
Halo Ferdi. Kamu mau berteriak pada pantai di hadapanmu? Mereka memang tak akan menyampaikan suaramu padaku. Tapi airnya bisa saja direkrut untuk menjadi siklus dan turun di jendelaku. Sehingga suaramu akan terpecah dan berbisik-bisik sebelum aku tidur.
"Halo, iya-iya aku bisa dengar suaramu. Eh, mmm... aku pulang minggu depan"
Semoga air hujan disini kamu beri pesan untuk mendinginkan rinduku, saat nanti kamu pergi lagi.
***
#np Jagostu-Telephone
Tidak ada komentar:
Posting Komentar