26.2.13

Tanpa Maaf



Dingin dan perih. Ruang duduk putih berjajar tanpa penghuni di depan sebuah loket pembayaran apotek. Hanya aku yang menunggu tanpa tahu kapan akan berhenti menunggu. Sedangkan perih yang luar biasa seakan berjalan merambat di seluruh tubuhku. Beberapa robekan mengoyak bajuku putihku, yang kemudian berganti hitam di beberapa tempatnya bercampur merah. Disini hanya terdengar suara jam dinding yang menggantung entah dimana. Tapi aku tetap tak mau menghiraukannya.

"Mbak, silahkan masuk biar lukanya diperiksa"
"Saya nggak papa sus!"
"Nggak papa gimana mbak, sudah ayo masuk, nanti infeksi kalau nggak cepat dibersihkan"

Aku menurut saja, mengekor dibelakangnya. Unit Gawat Darurat, aku memasuki gerbang yang biasa mengeluarkan orang-orang sehat maupun sudah mati. Ruangan ini tidak berbau porselen rumah sakit, tapi cukup membuat perutku meronta mual. Sekilas kulirik kamu yang terbaring kaku kedinginan, tanpa suara, tanpa rintihan. Kesunyian yang panjang malam ini benar-benar merontokkan pertahananku. Transfer yang begitu cepat dari keramaian dan kehangatan malam yang sempurna. Beberapa menit berpisah dari kebahagiaan itu, aku terlempar ke daratan aspal, kemudian di sini. 

"Kamu yakin?", sebelumnya aku tahu kamu berfirasat
"Iya, kapan lagi perempuan nyetirin laki-laki kalau bukan emang bawa bapaknya yang sudah tua"
"Aku aja deh, kamu pasti ngantuk"
"Jam 12 ngantuk? Pasti kamu nggak pernah sholat istikharah ya"

Kami hanya tertawa dan aku terus memacu sepeda motor hingga kecepatan 60 km/jam. Di jam-jam seperti itu merupakan kecepatan yang wajar, jalanan hanya milikmu dan pohon-pohon yang ikut berlari mengiringimu. Kecuali jika ada sebuah mobil yang tergesa-gesa pulang dan membuat pusaran udara dingin semakin menggigit dan menyibak semua yang dilewatinya. Mobil itu melesat tanpa melihat kami, ia sengaja memberi sentuhan hangat malam itu meski hanya sesaat. 

"Sus, Kaki kiri ini kayaknya", aku terbangun.
"Ya. Mbak ini keluarga atau temannya?", kemudian mengalihkan kepalanya padaku.
"Teman sus"
"Nggak telpon keluarganya?"
"Keluarga di luar kota"
"Nanti isi form daftar buat opname ya, perwakilan aja", ujarnya sambil terus menempelkan kasa pada luka-lukaku. 

* * *

"Selamat pagi mbak!", seorang suster sedang mengecek infus kemudian menyadari aku terbangun.
"Pagi.. sus!"

Pupilku mengecil menanggapi serangan cahaya keemasan tiba-tiba. Rupanya yang membuka jendela adalah penunggu pasien di bilik sebelah. Pagi ini kakimu masih dibebat rapat, mereka bilang ada tulang yang retak. Hari ini harusnya kamu sudah berpakaian rapi dan aku melambaikan tangan padamu di stasiun. Harusnya kamu menaiki kereta ke Jakarta untuk dikarantina demi pertukaran pelajar ke Jepang. Ini adalah hari besarmu, mungkin kamu berpikir akulah seharusnya orang yang celaka malam itu. Kulihat lagi kamu sudah terbangun, diam saja menatap wastafel di depan tempat tidur. Dengan matamu yang sayu, aku belum berani mengucap apapun. Kesunyian itu berlanjut. Kukumpulkan tenagaku sekadar untuk berkata sesuatu.

"Hey!"

Kamu menusukkan pisau dari matamu, mengarahkannya ke mataku. Selanjutnya hanya diam.

"Maaf" 

Suara maaf yang kecil itu tertelan bulat-bulat oleh riuhnya pengunjung pasien sebelah. Kamu diam saja, kukira tak mendengar suaraku. Aku beranjak dari tempat duduk dan berbalik hampir meninggalkan ruangan, sampai kamu akhirnya mengucap sesuatu.

"Maaf kamu bisa kembalikan kakiku jadi lurus lagi?", nada yang seakan ingin memakanku saat itu.

Aku terus menunggumu tanpa bersuara, kamu terus menolakku. Hanya di awal aku boleh menyuapi. Selanjutnya kamu terus mengabaikanku. Berdiam diri seakan-akan ingin berkata mengapa aku masih terus disini. Sampai kapan aku betah menungguimu seperti ini. Bahkan saat teman-teman kita menjenguk, aku tetap tersisihkan. Berbagai macam telapak tangan telah menepuk punggungku disertai kata-kata manis agar aku tetap sabar. Sampai suatu malam yang sayup kamu tak bisa tidur.

"Harusnya aku sudah dikarantina di Jakarta, kamu tahu", ujarnya diantara suara dengkuran keras di kamar kelas tiga berisi lima pasien dan empat penjaganya. 
"Aku sudah telepon mereka. Dan mereka maklum akan keadaanmu, kamu bisa menyusul"
"Kenapa kamu lakuin ini? Kenapa malam itu kamu yang menyetir"
"Itu bukan salahku! Mob..."
"Aku ngantuk, aku mau tidur, kalau kamu besok mau pulang, pulang saja, aku bisa sendirian", ia memotong kata-kata penting yang kupikir akan merubah pikirannya. 

Mobil itu yang menabrak kita, bodoh! Dan supir-nya yang cuma membuka jendela-nya sejenak. wajahnya kotak dan pesok kedalam mirip yakuza. Bangsat itu menoleh sebentar kearah kita, pada darah kita yang bocor diatas aspal. Selanjutnya dia pergi meninggalkan dua korbannya tergeletak seperti sapi yang baru dihabisi tukang jagal. 

Kucoba menjelaskan hal ini lagi keesokan harinya. Kamu tetap menyuruhku pergi.

* * *

Sampai dengan hari ini, tiga hari setelah kedatanganmu dari Jepang selama tiga bulan. Kamu berjalan melewatiku di kampus seakan aku transparan, tak terlihat olehnya. Ini bukan kali pertama. Kurasa aku kehilangan sahabatku. Tak ada percakapan tentang kejadian malam itu. Selamanya dia menganggap aku yang salah. Selamanya dia akan menganggapku sebagai orang yang pernah membunuhnya, meskipun dia hidup lagi. 

Ya, aku kehilangan sahabatku. Mungkin tawa kita hanya bisa tertinggal di tempat-tempat yang pernah kita kunjungi. Mereka akan tetap disana bagiku, tapi bagimu semua seperti asap rokok yang kamu sembur pada malam-malam kita tertawa bersama. Tak ada alasan bagimu untuk memperbaiki semuanya. Kenyataannya memang kamu lebih suka melarikan diri dari semua yang kamu benci dibanding harus repot-repot memperbaikinya. Kamu lebih menyukai hubungan yang rusak dibanding harus menyembuhkannya. Nyawa dari kepercayaanmu cuma satu. Ketika kamu sedang disakiti, kamu membuat orang yang menyakitimu lebih menderita. Kalimat terakhir barusan mungkin hanya asumsiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar