Gang buntu, pelan-pelan banyak anak kecil. Begitulah kalimat
buntu yang tercantum pada ujung gang, memberi kode pada pendatang agar masuk
dan keluar seperti kentut, pelan-pelan datang dan hilang. Apakah penduduk gang
ini butuh ketenangan? Pertanyaan itu tidak perlu di jawab ketika orang melihat
empat helai manusia dekil sedang kecantol di baduk-an depan gardu listrik.
Mereka berkumpul sambil melatih mulut mereka, adegannya hampir mirip dengan
burung-burung kecil di discovery channel
yang mangap-mangap menunggu makanan dari emaknya. Seseorang yang paling dekil ,
bungkring, dan berambut brintik duduk di tengah sedang menggelitik gitar,
bernama Wawan alias Sarkowan. Selanjutnya yang paling ujung membuka mulut selebar
kantong semar, perut lebar, dan sambil memegang erat botol mineral, Aripin.
Terakhir, yang paling rupawan dan merona dengan wajah tegas (bukan kotak), memakai
sarung dan memukul pantat gosong panci, bernama Dani. Perkenalkan, mereka
tergabung dalam orkes melayu yang penuh harap dan do’a agar lekas mendapatkan jodoh, Orkes Melayu Putra
Biduwan.
Setelah menyanyikan lima lagu spesial yaitu Anggur Merah,
Judi, Sharmilla, Benang Biru, dan Malam Terakhir. Mereka spesialis menyanyikan
lagu dangdut lawas sesuai dengan usia dan kontur wajah masing-masing. Akibat
kelelahan dan kepanasan, sang lead vocal
Aripin merebut botol air mineral dingin dari genggamanku. Sambil menenggaknya,
embun dingin dari dinding botol menggelinding ke sela-sela jari Aripin.
Tetesannya beradu turun dengan keringat dari rambutnya yang rapi, basah kuyup.
Rupanya ia menderita kepanasan yang luar biasa. Lalu disodorkannya botol itu
kearahku.
“Nih! Orang tuamu masih lama ya pulangnya?”, tanyanya
“Mereka sih bilangnya dua hari lagi. Tenang ajalah, besok
pasti kita jadi berangkat!”
“Lagu apa lagi nih? Yang pelan aja dulu”, Sarkowan tak tabah
lagi.
“Sekali-kali Sigur
Rόs ngono loh rek”, Dani menambahkan
“Mata kamu sungguh indah, Dan! Lha dipikir suarane Ipin
merdu kayak Jόnsi?”
“Salah pernyataanmu! Sing bener, Jόnsi suarane ndak duwe cengkok
merdu kayak Ipin, kurang berpengalaman dalam manten performance!”, kubela harga diri Aripin.
“Ayo wes melayu asli, budhal!“, Aripin mengajak naik
panggung lagi.
Kerumunan ibu berdaster mulai resah dengan kumpulan remaja
asli yang sedari tadi bengak-bengok walaupun hanya mempermasalahkan lagu yang
akan dinyanyikan. Seseorang diantaranya melirik Dani dengan seksama, si pria
tampan dengan jambul kuda bersayap pegasus.
“Dan! Panci blirik-ku nangdi?”, Jdierrr! Bukan mengagumi
ketampanan, justru menagih panci yang tempo hari diambil Dani dari dapur
mak-nya, milik tetangga.
“Sek bulek, durung dikorahi”, jawabnya singkat.
“Ayo jo! Melayu asli? Otentik bukan dangdut”, tagih Ipin.
“Bosen jo!”
“Nama kelompok musik kita aja sudah Orkes Melayu lho
depannya, masak ndak pernah nyanyi lagu melayu?”, Ipin prihatin.
“Budhal jadi TKI sana loh kayak anake Cak No, terus kuliah
ambil jurusan yang mempelajari musik melayu”, Sarkowan hanya meracau, aku
yakin.
“Haaaahh… Buyar rek, main Sigur Rόs ae yak apa, bener saran
Dani itu”, aku bosan, kadang mereka sangat pemilih terhadap lagu, apalagi Ipin.
“Main aman! Main aman!”, Dani melambaikan tangan ke kamera,
menyerah.
“Hiduuuup penuh likuu-likuu…”
“Bosen!”, jawab Sarkowan.
Perdebatan mengenai lagu apa yang akan dimainkan selalu
terjadi setiap saat, antara Ipin yang sangat pemilih, Sarkowan yang mudah bosan
(apalagi nanti kalau sudah nikah, bakal cepat bosan juga nggak ini bocah) serta
sulit mengambil keputusan, dan Dani yang selalu muncul dengan ide anehnya namun
tidak pernah bisa mempertahankan argumennya. Berada di tengah-tengah Putra
Biduwan ini kadang membuatku tertawa sendiri membayangkan ketika kami berada di
situasi yang berbeda. Bagaimana kalau perdebatan tadi terjadi ketika ketiganya
sedang di rumah sakit menunggu istri Sarkowan yang akan melahirkan dan harus
memilih normal atau operasi? Sementara istri Sarkowan merintih sambil
menjedot-jedotkan kepala dengan tiang infus.
Matahari sore sayup-sayup mulai minggir memecah gang kecil
kami. Mereka memutuskan untuk menyanyikan lagu lawas milik kelompok musik
Backstreet Boys berjudul incomplete sambil berteriak-teriak pilu seperti
tersayat pisau cutter berharap jodoh lekas datang sehingga istri Sarkowan
segera melahirkan.
“Waaaaaaaaaan! Maghrib wan! Rame ae, ndang budhal sholat”,
suara lantang, tegas, dan berwibawa terdengar dua meter dari tempat kami.
Adzan sesungguhnya belum berkumandang jika adzan dari ibu
Sarkowan belum terdengar.
koplak nggit ceritane, entuk ide tekan endi. :]
BalasHapusahahaha, ide cerita lama pas mbukak cerpen2 lama yg udah berkarat, ada sarang laba-labanya :D
BalasHapusthanks for reading uwuwuwuw :3