26.11.12

Orkes!



Gang buntu, pelan-pelan banyak anak kecil. Begitulah kalimat buntu yang tercantum pada ujung gang, memberi kode pada pendatang agar masuk dan keluar seperti kentut, pelan-pelan datang dan hilang. Apakah penduduk gang ini butuh ketenangan? Pertanyaan itu tidak perlu di jawab ketika orang melihat empat helai manusia dekil sedang kecantol di baduk-an depan gardu listrik. Mereka berkumpul sambil melatih mulut mereka, adegannya hampir mirip dengan burung-burung kecil di discovery channel yang mangap-mangap menunggu makanan dari emaknya. Seseorang yang paling dekil , bungkring, dan berambut brintik duduk di tengah sedang menggelitik gitar, bernama Wawan alias Sarkowan. Selanjutnya yang paling ujung membuka mulut selebar kantong semar, perut lebar, dan sambil memegang erat botol mineral, Aripin. Terakhir, yang paling rupawan dan merona dengan wajah tegas (bukan kotak), memakai sarung dan memukul pantat gosong panci, bernama Dani. Perkenalkan, mereka tergabung dalam orkes melayu yang penuh harap dan do’a agar lekas  mendapatkan jodoh, Orkes Melayu Putra Biduwan.

Setelah menyanyikan lima lagu spesial yaitu Anggur Merah, Judi, Sharmilla, Benang Biru, dan Malam Terakhir. Mereka spesialis menyanyikan lagu dangdut lawas sesuai dengan usia dan kontur wajah masing-masing. Akibat kelelahan dan kepanasan, sang lead vocal Aripin merebut botol air mineral dingin dari genggamanku. Sambil menenggaknya, embun dingin dari dinding botol menggelinding ke sela-sela jari Aripin. Tetesannya beradu turun dengan keringat dari rambutnya yang rapi, basah kuyup. Rupanya ia menderita kepanasan yang luar biasa. Lalu disodorkannya botol itu kearahku.

“Nih! Orang tuamu masih lama ya pulangnya?”, tanyanya

“Mereka sih bilangnya dua hari lagi. Tenang ajalah, besok pasti kita jadi berangkat!”

“Lagu apa lagi nih? Yang pelan aja dulu”, Sarkowan tak tabah lagi.

“Sekali-kali  Sigur Rόs ngono loh rek”, Dani menambahkan

“Mata kamu sungguh indah, Dan! Lha dipikir suarane Ipin merdu kayak Jόnsi?”

“Salah pernyataanmu! Sing bener, Jόnsi suarane ndak duwe cengkok merdu kayak Ipin, kurang berpengalaman dalam manten performance!”, kubela harga diri Aripin.

“Ayo wes melayu asli, budhal!“, Aripin mengajak naik panggung lagi.

Kerumunan ibu berdaster mulai resah dengan kumpulan remaja asli yang sedari tadi bengak-bengok walaupun hanya mempermasalahkan lagu yang akan dinyanyikan. Seseorang diantaranya melirik Dani dengan seksama, si pria tampan dengan jambul kuda bersayap pegasus.

“Dan! Panci blirik-ku nangdi?”, Jdierrr! Bukan mengagumi ketampanan, justru menagih panci yang tempo hari diambil Dani dari dapur mak-nya, milik tetangga.

Sek bulek, durung dikorahi”, jawabnya singkat.

“Ayo jo! Melayu asli? Otentik bukan dangdut”, tagih Ipin.

“Bosen jo!”

“Nama kelompok musik kita aja sudah Orkes Melayu lho depannya, masak ndak pernah nyanyi lagu melayu?”, Ipin prihatin.

“Budhal jadi TKI sana loh kayak anake Cak No, terus kuliah ambil jurusan yang mempelajari musik melayu”, Sarkowan hanya meracau, aku yakin.

“Haaaahh… Buyar rek, main Sigur Rόs ae yak apa, bener saran Dani itu”, aku bosan, kadang mereka sangat pemilih terhadap lagu, apalagi Ipin.

“Main aman! Main aman!”, Dani melambaikan tangan ke kamera, menyerah.

“Hiduuuup penuh likuu-likuu…”

“Bosen!”, jawab Sarkowan.

Perdebatan mengenai lagu apa yang akan dimainkan selalu terjadi setiap saat, antara Ipin yang sangat pemilih, Sarkowan yang mudah bosan (apalagi nanti kalau sudah nikah, bakal cepat bosan juga nggak ini bocah) serta sulit mengambil keputusan, dan Dani yang selalu muncul dengan ide anehnya namun tidak pernah bisa mempertahankan argumennya. Berada di tengah-tengah Putra Biduwan ini kadang membuatku tertawa sendiri membayangkan ketika kami berada di situasi yang berbeda. Bagaimana kalau perdebatan tadi terjadi ketika ketiganya sedang di rumah sakit menunggu istri Sarkowan yang akan melahirkan dan harus memilih normal atau operasi? Sementara istri Sarkowan merintih sambil menjedot-jedotkan kepala dengan tiang infus.

Matahari sore sayup-sayup mulai minggir memecah gang kecil kami. Mereka memutuskan untuk menyanyikan lagu lawas milik kelompok musik Backstreet Boys berjudul incomplete sambil berteriak-teriak pilu seperti tersayat pisau cutter berharap jodoh lekas datang sehingga istri Sarkowan segera melahirkan.

“Waaaaaaaaaan! Maghrib wan! Rame ae, ndang budhal sholat”, suara lantang, tegas, dan berwibawa terdengar dua meter dari tempat kami.

Adzan sesungguhnya belum berkumandang jika adzan dari ibu Sarkowan belum terdengar.

2 komentar:

  1. koplak nggit ceritane, entuk ide tekan endi. :]

    BalasHapus
  2. ahahaha, ide cerita lama pas mbukak cerpen2 lama yg udah berkarat, ada sarang laba-labanya :D
    thanks for reading uwuwuwuw :3

    BalasHapus