Pagi masih sedikit gelap ketika kutinggalkan rumah. Sama seperti bakul sayur keliling yang wajahnya terlihat mistis kebiruan terkena cahaya langit subuh. Ia menyapaku dengan senyuman sangat manis, rambut gondrong-ku setengah kusibak pelan. Sayangnya si bakul sayur seorang laki-laki. Aku berjalan terpincang-pincang menuju pangkalan bemo dekat rumah. Karena ini hari Minggu, maka terlihat banyak lansia memutar-mutar otot persendian. Biasanya jam segini aku sudah berpakaian cantik pakai sport bra kemudian lari-larian keliling kecamatan. Yah karena pembukaan yang cukup random tanpa kejelasan jenis kelamin, perkenalkan namaku Sukidi, singkatan dari Suria Dwiki Setiadi. Buat yang baru kenal, jangan coba menduga-duga kalau aku imigran gelap asal Suriah. Hari ini aku harus menjalankan misi penting tugas kuliah untuk menulis tentang kerajaan Majapahit. Sang dosen berharap kami berkunjung ke situs-situs yang berkaitan dengan kerajaan Majapahit serta menunjukkan bukti foto kami pernah kesana. Yah, nanti bakal kukirim fotoku pakai songkok bareng satpam museum. Beberapa teman-teman perkosa (persahabatan kompak selamanya) sudah mencuat dengan foto-foto mereka di media anti-sosial. Mereka sempat mengajakku naik sepeda motor, namun apa daya kaki-ku masih terluka pasca-kecelakaan. Maka kuputuskan naik kendaraan umum bersama teman-teman persami (persahabatan sesama mami), terdiri dari wanita-wanita ber-gincu tipis dengan alis dan bibir setengah berjingkat agar terkesan eksotis. Menarik bisa mengenal makhluk-makhluk ini, namun ada satu yang cukup menggelisahkan sukma. Seseorang diantara mereka bernama Atundh (sebut saja) yang akhir-akhir ini cukup agresif, reaktif, serta menginvasiku. Semoga garuk punggung yang satu ini nggak jadi ikut.
Setelah menuruni bemo biru, satu kali naik bis kota, maka sampailah di Terminal Bungurasih. Kami janji ketemuan di dekat peron. Kutengok sejenak jam tangan-ku, sudah jam 6 pagi, mereka pasti sudah sampai. Jam segini sudah wajar kalau terminal terlihat sangat gaduh, apalagi di hari Minggu. Sangat berbeda ketika aku singgah ke sebuah terminal di antah berantah Jawa Timur beberapa bulan yang lalu. Itu terminal kasihan, semacam lagi menjalani siksa kubur. Sebagai orang yang suka jalan-jalan, rasanya sudah biasa dengan macam kericuhan bau, mulai bau manusia, bau bus, dan asap rokok. Aku-pun merasa nggak yakin para persami ini bisa bertahan dengan kondisi ini. Namun aku percaya, mereka adalah wanita perkasa yang mampu mendongkrak ban bus saat bocor. Tapi hatiku masih sedikit was-was, takut akan kehadiran Atundh. Sedikit saja kulihat seuntai rambut berkuncir kabel telepon warna hijau muda di udara, habis sudah kebahagiaanku hari ini. Dia itu ibarat dementor, bisa menghisap harapan hidup anak bangsa. Awalnya kulihat sekumpulan ibu-ibu sedang bertukar rantang di dekat peron, kuamati lagi dengan seksama.
"Kidi ganteng...", Odyta menyapaku duluan.
"Eh cakep, pagi-pagi udah wangi aja, mau jadi penghulu ya", Arila menambahi.
"Hai manis, abang boleh pinjem bando? ya ampun... Abang kepanasan"
"Hai semuanyaaaaa", mati! suara jamur merang nih kayaknya
"Eh, Atundh", Odyta menyambut.
"Eh Kidi", senyumnya merekah ke arahku. Aku butuh rencong, clurit, gergaji mesin, pisau cukur, gunting rumput, mercon banting, apapun yang bisa bikin aku enyah dari hadapan perempuan ini, duh.
"Hai... tun!"
Tujuan kami adalah Museum Trowulan di Mojokerto, tapi kami menumpang bus jurusan Madiun supaya gampang dilempar ke pinggir jalan. Karena menggunakan kendaraan umum, maka kami memutuskan ke Trowulan saja tanpa berkunjung ke situs Majapahit yang lainnya. Di Mojokerto situs-situs kerajaan besar ini tersebar di beberapa wilayah. Kami juga berpesan sama paklik kernet, kalau sudah sampai di Trowulan mohon kami mohon segera di seret ke pintu dan di-ketapel mirip Angry Birds. Di bus aku duduk bersebelahan dengan Odyta yang terlihat sangat kumus-kumus hari ini. Kami saling mengobrol dengan menjerit nestapa akibat suara bus yang mengerang keras.
"Odyt.. minta tisu dong, bawa nggak?", sekepal kepala muncul dari belakang, dengan rambut lurus menggerayangi mukaku yang suci.
"Ehm, ngga bawa tun"
"aduh gimana nih, telur puyuhnya ada yg kurang mateng, pecah, trus kuning telurnya nempel di celana aku. Aduh ini celana item lagi, jadinya keliatan kalo kotor dong ah, gimana ya?"
"kamu bawa telur puyuh"
"enggak, barusan beli. aduh gimana dong Odyt? baru ganti lagi nih celana. aduh ngapain ya tadi beli telur puyuh juga"
"Yaudah sih tun.. kaos kamu kan panjang, kalo berdiri juga pasti ketutupan"
"Uggh, sebel deh. Ngapain ya tadi. Nggak mau jadi kayak gini"
Oke, kenapa perempuan bisa jadi segitu terluka-nya akibat noda telor puyuh. Anehnya ini anak nyata dan gimana kalau nanti diselingkuhin? Pasti bakal ngurung diri dalem kulkas kalau nggak mainan kompor gas. Duduk di sebelah Odyta lumayan bikin tentram, meskipun kericuhan masih terdengar di belakang yang dari tadi sepanjang perjalanan sudah ngomongin banyak hal, mulai mantannya, makanan yang pengen dia makan sekarang, dokter, puskesmas, penyakit kulit, sampai berapa harga kluwak di pasar. I'm a good listener, but this one is not worth to be heard. Tsaahh! Dibuka ya kamus bahasa Swaziland-nya. Oke, mari berusaha menenangkan diri dengan berpikir positif, tarik nafaaaaas, keluar, keluar, keluar, arwah jahat keluar.
Dari tadi aku sudah menghitung ada lima gelintir pengamen yang keluar masuk bus dan mulai menjadikan bus ini sebagai acara musik lalala yeyeye. Biasanya, kalau sedang menempuh perjalanan semacam ini, aku menyiapkan beberapa recehan buat pengamen, tapi berhubung tidak bawa, pura-pura tidur adalah solusi terbaik atas kemelut ini. Bodohnya lagi, sebulan yang lalu naik pesawat malah membawa recehan banyak. Pengamen di pesawat turunnya lewat mana bu? Sesampainya di penghujung Krian, Odyta malah tersungkur lemah ketiduran.
"Ayo mas! Trowulan, Trowulan yo!", pak kernet melambaikan bibirnya ke udara. Tak ada pilihan selain mengguncang Odyta.
Kami turun tertatih-tatih akibat pantat yang kelu. Odyta setengah mengantuk digandeng oleh Arila. Semoga makhluk berisik satunya nggak berharap kugandeng juga. Bangunan di depan kami mengawasi wajah kami yang tentram diserbu udara segar. Kami-pun bertanya pada seorang satpam manis yang sedang duduk-duduk menghirup kopi.
"Pak, bener yah ini museum trowulan?"
"Loh, bukan. Musium-nya bukan di sini dek? Masih satu kilo-an lagi lewat sana", ketiaknya ngangkat dan menantang.
"Waduh, naik apa ya pak?"
"Jalan bisa, naik becak juga bisa,deket kok, tinggal lurus belok kanan"
Aduh, kenapa bisa salah tempat begini. Harapan palsu! Kami-pun berjalan lagi dengan terseok-seok memandangi jalanan yang ramai seakan mengejek "Nyasar ya lu". Sedangkan kaki-ku apa ya bakalan kuat jalan segitu jauhnya.
"Aduh masih jauh ya, gimana dong males banget jalan nih", oke ini baru lima meter. Siapapun tolong bawakan solder.
"Alah cuma sekilo doang",
Odyta yang masih ngantuk aja masih terlihat setegar batu karang. Weits, ngantuk sama pasca-kecelakaan itu beda lho. Maunya naik kendaraan umum biar nggak capek, ini malah jalan satu kilo. Nyampe sana ini perban pasti udah pada berguguran tinggal tulang aja ini kaki. Becak juga tak satu helai-pun yang lewat. Seorang bapak-bapak manis sedang duduk di teras rumahnya saat kami lewat.
"Pak, nyuwun sewu, mau ke museum Trowulan bener lewat sini pak", iseng aja nanya ketimbang nyasar ke pekuburan.
"Iya dek, tinggal lurus belok kanan, dedek mau kesana?", tuh kan manis banget.
"Enggak om, mau ke sumur bor dimana ya?", lagi-lagi dibalas senyuman manis.
"Saya anterin aja naik motor, tapi duapuluh ribu ya dua kali angkut", matanya terlihat sedang menghitung jumlah kami.
"Gimana?", tanyanya memastikan.
"Eh, bentar ya pak", bapak tadi terlihat menyingkir sejenak sambil pura-pura nge-lap motornya.
Kami menjauhi bapak tadi sambil berbisik-bisik mesra.
"Gimana kid, kamu kan cowok, kamu yang mutusin deh", Arila muncul dengan wajah kalut
"Oke kita putus"
"Aduh, kamu aku jitak loh ya! Kita tetep jalan, naik becak, apa naik om itu?", Atundh mulai lamis.
"Pikirin kaki kamu kid! Jangan mikirin duitnya, nanti kita urunan"
"Oke deh"
Kemudian kami saling menumpuk tangan sambil meneriakkan jargon persami, eh bukan ya.
"Oke, kami terima bapak!"
"Saya diterima?", trus bapaknya sujud syukur. Ini cerita apa sih sebenernya.
"Dua puluh ribu ya pak! Eh, nggak boleh kurang"
"Jaraknya lumayan lho"
"Lima belas deh pak ya"
Kami-pun berangkat bergantian digonceng bapak tadi, aku dengan Odyta, lagi-lagi Alhamdulillah. Atundh berangkat duluan dengan Arila.
"Eh ril, kamu duluan aja, aku nggak mau ngangkang banget", duh apa sih.
"Eh, bentar dong, kamu agak majuan dikit ril, dikit aja, nah gitu"
kami menghela nafas panjang sesampainya di depan museum, suasananya sepi, dan lagi sepanjang perjalanan kami melewati rumah-rumah yang sepi, tentram, dan damai seperti nggak pernah ricuh, nggak ada pedagang ember yang berisik, satu-satunya makhluk yang berisik saat ini ya cuma Atundh. Arila mulai mepet-mepet di sebelahku karena sepertinya sudah menahan luka yang menahun bersama Atundh.
"Kid, yang sabar ya"
"Yang ada kamu yang sabar Ril"
"Maksudku, kayaknya Atundh suka kamu deh. Dia emang impulsif anaknya, tapi hari ini kok nggak masuk akal. Kayaknya gara-gara ada kamu"
"Nih, dengerin ya ril, anak kayak Atundh itu kayaknya nggak cuma sama aku dia kayak gitu. Suratan takdir yang bikin dia kayak begitu"
"Mungkin gara-gara dia baru putus ya"
"Nih, kalau orang habis putus biasanya nggak secepet itu sok-sok cari perhatian ke orang lain. Pasti lebih hati-hati dulu sambil move on, itupun kalau niatnya move on, kalau enggak juga ga bakal separah itu juga Ril"
"Yah, hari ini kamu yang sabar, harusnya kamu kesini bareng temen-temen kamu aja"
"Niatku itu cuma pengen macak gembel, aku kangen naik bus, dan aku nggak tau kalian ngajak garuk punggung itu, kalian bilangnya udah putus hubungan sama makhluk halus kayak gitu", Arila kelihatan merasa bersalah, akhirnya aku cuma menepuk-nepuk pundaknya pakai sekop biar dia lega.
"Kidi, bisa tolong pegangin tas akuh nggak, aku mau benerin sepatu nih", Odyta dan Arila sudah berkeliling, saatnya ngerjain ini biji nangka.
"Eh, Atundh"
"Yah?"
"Kamu suka aku ya?", wajahnya langsung berubah jadi ungu kayak ketabrak becak mesin.
"Emm... enggak tuh, ih kamu kok gitu sih, ge-er banget", orang yang salah tingkah itu memang beda-beda reaksinya, ada yang cuma diam tapi di dalamnya berasap, ada juga yang langsung memperagakan senam kegel, aerobik, SKJ 2000 sampai SKJ 3000 kayak anak ini.
"Habis kamu suka cari perhatian ke aku sih, aku kan jadi salah tingkah", senyumnya merekah sambil sok ngambek, kalau aku suka dia pasti aku bilang 'ih lucunya'. Tapi ini situasi yang berbeda.
"Tuh kan kamu ge-er banget, liat deh! lagian siapa juga yang suka kamu"
"Aku cuma mau ngasih tau sih, kalau kamu suka aku, maaf ya, soalnya aku nggak suka kamu"
"Ih apaan sih, kamu... lagian nih ya aku kan baru putus... *bla bla bla sensor bla bla bla bla sensor sensor blah blah*
Kalau saja arca-arca ini bukan benda bersejarah, pasti udah kulempar ke bibir ini anak. Berisik.