28.10.12

Hari Minggu Berkah

instagram: langit Surabaya yang sumpah pemuda

Hari ini adalah hari yang absurd tapi menyenangkan! Pagi hari yang kriyep asli, telat bangun buat ikutan  acara zine//picnic #02 di Jalan Raya Darmo, datang di saat acara akan bubar. Walaupun begitu masih berkesempatan buat merenggut beberapa zine-zine loetjoe, misalnya buatan Mbak Tinta sekawan yang lucu, Omnibus (ini edisi perdana looooh), Adrea juga bikin zine. Walaupun nggak bawa zine (karena nggak sempet bikin), aku & Maya berjanji akan bikin zine juga, soon! mehehe. 

Perhentian selanjutnya adalah ke Pasar Gembong, mencari jodoh, nah lo? Maksudnya mau mencari informasi untuk project Ayorek. Sempat dilanda keresahan luar biasa, akhirnya kami pura-puranya sedang mencari kamera analog dan berhasil ngobrol-ngobrol sejenak dengan bapak penjualnya. Sempat takut ikutan tergaruk bapak-bapak Satpol PP yang kinthel, kami-pun malah asyik baca-baca komik yang dijual bapak si penjual kamera tadi. Ada komik-komik jaman otak kita masih suci semacam Pansy, Sailormoon, Slam Dunk, dan princess-princess-an gitu lah. Yang mengejutkan ada juga injil loh! Intinya, Pasar Gembong adalah pasar yang paling random yang pernah ada. Di sini, satu penjual bisa menjual jutaan jenis barang yang berbeda (halah), pokoknya bener-bener random, bisa jadi dalam satu lapak berisikan batu akik, kamera, HP, patung hiasan, walkman, pipet buat praktikum (bahkan!), keker, wuah lucu deh pokoknya banyak hal-hal yang nggak pernah terduga bisa ditemui disini. Akhirnya kami-pun sepakat membeli buku cerita anak-anak karangan Enid Blyton karena salah satunya berjudul Noddy Mandi Madu yang kami prediksi sebagai cikal-bakal lagu dangdut di tanah air, juga sebuah buku drama Shakespeare berjudul Troilus and Cressida, semuanya dibeli seharga Rp 5000.

Sedari Gembong, kami meluncur ke TP karena si Maya akan menghadiri Brangerous, dimana di pameran ini karya instalasi-nya yang berjudul twisted logic ikut dipamerkan. Seperti biasa, nongkrong dulu di foodcourt biarpun yang dibeli cuma secuil es teh dan makan semua yang masih ada di dalam tas, walapun akhirnya sebelum pulang, Adrea dan Maya ke Sushi Tei dimana aku gembung karena oocha. Minggu yang asyik dan gak berasa, lalu tiba-tiba harus menghadapi kenyataan hidup bahwa besok UAS Agama II, zzzzzzz... Semoga hari Minggu-mu menyenangkan juga!:)

hasil merenggut zine-zine bergizi dari zine//picnic #02 dan buku-buku dari pasar gembong

27.10.12

Jelajah Kampung Peneleh Bareng Manic Street Walkers

Minggu pagi di Surabaya pagi itu (21/10) berkabut dikelilingi suara hewan-hewan hutan dan suara orang-orang yang menggigil di dalam tenda. Eh, salah deskripsi ya? Salah lokasi, mentang-mentang seminggu sebelumnya habis mendaki gunung, hehe. Sekitar pukul 05.30 sudah kriyep-kriyep di depan perpustakaan c2o, padahal biasanya masih menyebrangi lautan virtual di alam mimpi. Pagi ini, kami mau berjalan kaki, yeah! barengan Manic Street Walkers, sebuah klub pejalan kaki yang tersohor di Surabaya, hehe. MSW sering lho bikin   rute sambil jalan-jalan bareng sambil mengunjungi tempat-tempat seru di Surabaya. Kota kita tercinta ini kan punya trotoar yang lumayan cing cing ping, jadi sayang sekali kalau nggak dimanfaatkan buat jalan kaki. Nah, kali ini barengan Kak Kat, Mbak Tinta, Mas Firman, Ruth, Verlita, dan Nurul, kami akan mengarungi kampung Peneleh sambil melihat-lihat lokasi menarik seperti rumah kelahiran Bung Karno, makam Peneleh, sampai rumah HOS Cokroaminoto yaitu tempat Bung Karno dulu pernah menge-kos di sini. Perjalanan kami dimulai dari Alun-Alun Contong.

Plakat untuk mengenang Bung Karno serta penanda bahwa Peneleh dulunya pernah disinggahi Bung Karno 
Kawasan Peneleh ini merupakan daerah yang familiar buatku, karena setiap sebulan sekali selalu mengantar ibu untuk kontrol di RS. Mata Undaan, jadi pulangnya selalu lewat sini. Ternyata daerah ini cukup berpengaruh pada masa sebelum kemerdekaan. Nah, Peneleh dan sekitarnya ternyata dulu masuk ke dalam wilayah Keraton Surabaya, dan nama-nama di jalan sekitaran sini sesuai dengan aktivitas di tempat ini di masa lampau, Jalan Jagalan misalnya, karena memang dulunya tempat jagal sapi, ada juga Jalan Pandean yang dulunya banyak orang yang berprofesi sebagai pandai besi. Pada jaman penjajahan juga, kata Mas Firman daerah Peneleh ini diberi hak oleh Belanda untuk tidak di masuki Belanda secara bebas karena masih wilayah keraton. Hal ini tentu saja nggak dilewatkan begitu saja oleh bapak-bapak hebat yang sempat mengekos di rumah HOS Cokroaminoto, sehingga dijadikan basis berkumpul ini untuk membahas negara kita dan masa depannya. Fenomena yang juga unik di daerah ini adalah ketika masuk gang-gang, kita akan dikejutkan akan beberapa makam yang tiba-tiba muncul di tengah jalan, kadang posisinya-pun melintang.

Ini adalah rumah tempat kelahiran Bung Karno di Jalan Pandean IV/ 40.. Saat ini masih menjadi milik warga.

Makam Peneleh
Setelah singgah sejenak di rumah kelahiran Bung Karno, kami meluncur ke Makam Peneleh. Siapa sih yang nggak kenal tempat ini? Sejak dipakai banyak fotografer buat motoin model sih, akhirnya makam yang identik dengan serem jadi hemm... setelah lihat hasil potretannya, nah loh. Buat yang pengen lihat-lihat atau berkunjung ke Makam Peneleh, FYI pintu masuknya ada di balik Puskesmas Peneleh yang dulunya merupakan semacam kantor makam. Disitu kami disambut pagar besi yang tinggi mirip di film-film horor, hehe dan ternyata gerbangnya masih aseli. Jangan lupa sediakan uang untuk bapak juru kunci-nya. Kak Kat juga memfoto lapangan bola masih berada di area pemakaman disini beserta kambing yang sedang asyik leyeh-leyeh, bisa jadi sebagai perebutan ruang publik, hehe. Ketika berjalan dari gerbang terlihat kondisi makam yang masih utuh dan sangat megah  dengan hiasan-hiasan atau atap di atasnya, tapi semakin masuk ke dalam, kondisinya sudah makin mengenaskan dan semakin hampir rata dengan tanah karena kurangnya perawatan akan aset bersejarah ini. Di makam ini kayaknya juga bisa dibuat belajar bahasa Belanda, mehehe...

Rumah HOS Cokroaminoto

Nah, perhentian terakhir kami di rumah HOS Cokroaminoto yang terletak di Jalan Peneleh IV. Disinilah dulu para tokoh-tokoh bangsa seperti Muso, Semaoen, Kartosoewirjo, dan Sukarno pernah singgah dan berdiskusi bersama. Kami juga berkesempatan buat masuk. Ada juga atap atau loteng tempat mereka berdiskusi. Saat ini juga digunakan sebagai tempat aktivitas warga sekitar. 

Waaaah, seru banget jalan-jalan kali ini, yang tentu saja bikin jadi lebih bangga sama kota kita tercinta ini. Surabaya yang menyimpan banyak harta-harta yang asyik untuk dijelajahi! :)