18.5.13

Tulungagung dan Harta Keseniannya

Hujan terus-menerus menyiram Surabaya di Sabtu siang ini mengingatkan akan bulan yang dingin di awal tahun 2010. Tiba-tiba lagi buka folder foto dari tahun 2009 ketika aura masih belum diliputi banyak dosa. Ternyata masih ada juga folder berisi foto-foto waktu PKL mata kuliah Aesthetics ke Tulungagung. Dulunya sih kami sekelas berharap-harap bakal PKL ke Bali. Tapi dengan PKL ke Tulungagung kami akhirnya juga tahu bahwa nggak cuma Bali yang terkenal dengan masyarakat-nya yang kental dengan jiwa seni. Karena mungkin kalau jiwa-jiwa yang kental dengan susu kental manis hanya bisa anda temukan di warung kopi giras. Jadi kami berkunjung ke beberapa tempat yang identik dengan kesenian daerah tersebut. Jadi, PKL waktu itu kayak dua hari penuh disuguhi aktivitas seni gitu, cuman ya jangan harap ada suguhan nastar atau melinjo (apa banget!). Berangkat di pagi buta, mungkin karena pagi-nya sudah sakit katarak tak tertolong, kami meluncur ke Tulungagung.

Perhentian #1: Wi-Dji Fine Art Gallery
Itu tadi pakai #hashtag #biar #nge #hits. Oke, mari kita fokus, geser ke autofocus-nya bro. Lokasi Wi-Dji Fine Art Gallery ini di Jalan Boyolangu No.04 RT.8 RW.1 Boyolangu, Tulungagung. Nah, kalau dari katalog -nya yang sekarang masih saya simpan, Pak Widji merupakan lulusan dari ISI Yogyakarta jurusan seni lukis yang karyanya sudah termayhur dan sudah dipamerkan dimana-mana. Selain itu juga pernah menjadi ilustrator di harian ibukota yang tersohor. Di galeri seni ini, bukan hanya lukisan-lukisan yang super unik saja yang dipajang, tetapi juga banyak benda-benda yang bernilai seni yang dipajang di sini. Spesial untuk lukisannya bukan hanya unik, tapi juga menyentil gitu ya bahasanya, hehe. Nah, dibawah ini monggo dilihat teaser-nya.



Barang-barang yang unik.

Ini maha hipster ya, tapi keren. foto oleh: Nantha Prasetya.

Perhentian #2: Goa Selomangleng
Sejujurnya, iya main jujur aja daripada main aman ya. Goa yang bernama Selomangleng di Jawa Timur ini ada dua, satunya berlokasi di Kediri satunya di Tulungagung. Itu goa-nya bisa copas kali ya. Tapi masih belum dapat diketahui ada hubungan apakah antara goa yang di Kediri dengan di Tulungagung. Mungkin hubungan jarak jauh, biar nge-hits ala remaja masa kini. Sebelumnya, mohon maaf sungkem dulu karena foto di folder saya tidak ada yang merepresentasikan goa ini dengan baik dan shahih. Maka anda bisa menilik foto ini dari blog tetangga untuk lebih jelasnya. Mungkin waktu itu handphone saya cicilan servis-nya nunggak, jadi waktu dipakai memotret jadinya setengah-setengah begini, hehe. 

Lokasi goa ini berada di Desa Sanggrahan untuk masuk ke lokasi goa, kita melewati rumah penduduk, kemudian berjalan agak jauh melewati hutan yang kemudian menanjak. Karena waktu kami kesana sudah sangat sore, maka hutannya terasa gelap. Goa ini berbeda dengan goa pada umumnya, karena ukurannya kecil, hanya seperti batu besar yang berlubang di dua sisi. Di dalamnya terdapat relief Arjuna Wiwaha yang mengisahkan tentang Arjuna yang sedang bertapa kemudian diberi ujian oleh Bathara Indra. Tujuh bidadari diturunkan dan ditugaskan untuk menggoda Arjuna. Namun, secara keren Arjuna mampu bertahan dari godaan para bidadari tersebut. Sosok lelaki seperti inilah yang sangat dicari untuk menjadi calon suami. Oke, salah fokus. Lebih lengkap lagi, ada buku yang saya temukan membahas tentang goa ini meski dalam bahasa Inggris, dengan judul Worshiping Siva and Buddha: the temple art of East Java, coba cek disini. Seandainya kita bisa membuat kisah sejarah yang sudah keren menjadi amat pecah untuk diceritakan pada anak cucu cicit kita kelak.

Maaf ya cuma setengah.

Pemandangan di sekitar goa ini juga pecah bikin pengen menyendiri sambil mendengarkan musik.

Apalagi pohon asem ini, indahnya hehe.

Perhentian #3: Pembuatan Batik Tulungagung
Kami juga sempat berkunjung ke dua lokasi yang berbeda yaitu tempat pembuatan batik. Kalau banyak orang mengira batik hanya terkenal di Pekalongan atau Jogja, maka anda belum mengerjakan tugas dari mata kuliah Aesthetics pada tahun 2010. Nyehehe, atau mungkin anda masih belum tersentuh teknologi mutakhir bernama televisi. Lama ya basa-basinya. Jadi, yang membuat batik Tulungagung berbeda dengan batik mainstream (ceileeh) berarti ini batik hipster ya. Jadi yang membuat berbeda adalah permainan warnanya. Dalam batik yang terkenal dari Jawa Tengah atau Jogja biasanya berwarna dominan coklat, tapi di Tulungagung juga terdapat warna-warna yang lebih cerah. Dari motifnya biasanya berasal dari tumbuhan atau hewan. Batik yang paling terkenal dan sering digunakan pada waktu pernikahan adalah dengan motif Sidomukti. Kalau dari proses-nya sama saja, misalnya ada yang batik tulis maupun batik cap. Kalau yang di-cap ada yang benar-benar hanya satu orang yang mengerjakan ada juga yang dikerjakan secara tugas kelompok berpasangan mesra seperti pada gambar di bawah ini. Kebetulan, nemu juga sebuah web dari lokasi pembuatan batik yang pernah kami kunjungi, bernama Batik Gadjah Mada. Untuk melihat sejarah dan macam motif batik Tulungagung pada batik Gadjah Mada, tekan ini

proses pengecap-an dari pola yang sudah ada. Foto oleh Nantha Prasetya.

Alat tempur ibu-ibu pembatik untuk batik tulis.

Bahkan batik-nya ceria berwarna merah.

Proses penjemuran sebelum diwarnai. Foto oleh Nantha Prasetya.

Perhentian #4 Pembuatan Marmer
Perhentian terakhir sebelum kami pulang ke Surabaya adalah sebuah perusahaan pembuat marmer. Ternyata industri marmer di Tulungagung ini dimulai sejak jaman kolonialisme. Saat itu Belanda menemukannya pada tahu 1934. Kerajinan yang paling awal dibuat dari marmer adalah hiasan nisan pada makam. Buat yang pernah berkunjung ke Makam Belanda Peneleh Surabaya, pasti menemukan beberapa makam yang tulisan atau hiasannya terbuat dari marmer. Sekarang hasil dari marmer lebih variatif, mulai dari meja, plakat, prasasti, gelas, vas bunga, asbak, bahkan patung. Hal yang menakjubkan adalah kami juga menemukan sebuah patung sapi raksasa terbuat dari marmer. Bayangkan! Kalau dilihat hasil dari kerajinan marmer memiliki tekstur yang halus dengan semacam urat-urat yang indah. Menakjubkan.


Sebagai penutup, selain dari berbagai kesenian serta peninggalan sejarah diatas, pada malam hari ketika kami menginap di mess, ada pula sekelompok pemain jidor yang menyanyikan lagu-lagu khas daerah. Peralatan yang dipakai-pun hampir mirip dengan semacam karawitan dan mereka menyanyikan lagu favorit saya, Nyidam Sari! (padahal ancen ngerti-ne mek iku tok), yang tidak paham bahasa barusan silahkan dibuka kamus bahasa Surabaya-nya. Selain itu banyak hal yang mistis hore selama menikmati perjalanan PKL, entahlah sebut saja nikmat karena setelah itu kami harus membuat laporan, hehehe. Mistis hore yang membuat kita ingat dan sadar akan potensi keren provinsi kita. Sampai jumpa di lain kesempatan. Salam PKL! 

7.5.13

Sendiri Dengan Sore


Aku menyukai ujung pepohonan yang menantang angkasa. Foto ini kuambil pada sore di bulan Oktober 2011 di depan warung Bu Tini, ground Cuban Rondo. Waktu itu kami akan beranjak pulang ke Surabaya. Entahlah, mengapa pepohonan itu cantik, kecuali setan-setan yang suka bergantungan mesra di malam hari. Pepohonan ini, orang menyebutnya pinus.


Sendiri. Apa yang kebanyakan orang lakukan ketika mereka menikmati sebuah pemandangan indah, sendirian. Bersama dengan lagu favorit mereka terbungkus di telinga. Mungkin aku akan memilih musisi seperti Float, Little Joy, atau Kings of Convenience. 

Pepohonan, langit sore di viaduct Gubeng, loteng yang terhubung dengan tol Simorukun, dan Jalan Tunjungan yang tak akan cukup dipandangi sebentar saja. Kemarin aku berjumpa sebut saja Anita bukan nama fakta. Dia mencolekku di Jalan Gentengkali, meskipun itu bukan rute biasa untuk pulang. Sebelumnya ketika pulang melewati viaduct Gubeng, aku merasa sore itu sangat cantik. Lagu yang terbungkus earphone ada Little Joy, DIIV, dan Washed Out. Lagu yang cocok untuk minum segelas es teh atau lemon tea. Maka secara spontan, aku membelokkan jalur yang agak jauh untuk mencapai jalan pulang. Dari Jalan Pemuda malah belok ke Jalan kanan lewat Balai Kota-Walikota Mustajab- Jalan Gentengkali-Jalan Tunjungan. Entahlah itu memang rute favorit-ku. Rute yang dulu sering ditempuh ayah kalau mengantarku pulang. Menghirup secara gratis aroma sate Ondomohen, lalu menyusuri barisan pohon di kanan Jalan Gentengkali, dan bangunan-bangunan sayu ala Jalan Tunjungan. Kalau sudah begini, kecepatan spedometer cukuplah santai 20km/jam. Ya begitulah, caraku menikmati sore secara santai tapi impulsif. Ya, aku penggemar berat sore.

Ketika terlalu banyak hal yang berebutan masuk ke dalam otak, sore itu saatnya kulepas pelan-pelan beberapa secara baik-baik. Ya, kami putus dengan cara baik-baik. Semoga hubungan silaturrahmi kami tetap terjaga. Dan yang kudapat dari sore itu: Be easy like clouds. Stand tall and beautiful like trees.