6.6.15

Ke Tanah Kelahiran

Dua minggu yang lalu, tanpa direncanakan sebelumnya, saya dan beberapa teman sekantor pergi keluar kota. Kala itu hari Sabtu, kami semuanya sedang lembur, tiba-tiba salah satu teman kami mengajak keluar kota karena akan mengantar teman kami satunya ke rumah keluarganya di Ponorogo. Esoknya ia akan kembali ke Jakarta. Tanpa berpikir panjang lebar (tanpa persiapan pakaian misalnya), secara spontan kami semua mengiyakan dan sepakat untuk menginap di rumah salah satu teman kami di Madiun. Dua belas tahun lamanya saya tak pernah menginjakkan kaki di kota Madiun. Meskipun bakalan seumur hidup nama kota itu berjajar disamping tulisan tempat tanggal lahir. I’m quite sensible about this little town sometimes. Awalnya bakalan berfikir bahwa perjalanan ini bakalan mirip family visit alias kunjungan keluarga. 

Kami berangkat dari Surabaya sekitar pukul 1 siang dan berencana lewat jalur yang ‘ora umum’ demi menghindari kemacetan. Biasanya kalau lewat jalur bus umum akan melalui jalur Krian, Mojokerto, Kertosono dan seterusnya. Tapi kali ini kami lewat jalur Bojonegoro. Di blog ini, saya pernah cerita kalau dulu ikut KKN di Bojonegoro yang lebih dekat ke Ngawi daripada ke Bojonegoro kota. Kami juga lewat Bojonegoro kota. Ah, banyak sekali kenangan di kota ini, mulai dari ke Perhutani dekat kota buat minta program penyuluhan jati, sampai naik bus Gunung Harta yang luar biasa membuat jantung ikut olahraga. Selanjutnu.ya kami menuju Nganjuk di daerah Gondang. Pemandangan hutannya semacam di Bali, jalannya luar biasa berkelok-kelok seperti perjalanan cinta kita, mas, peti kemas. Sepanjang jalan ditumbuhi pepohonan jati. Huaa, aku suka bau daun jati dan bentuknya yang lebar, oh, Tectona grandis. Karena masih peralihan musim hujan ke musim kemarau, dedaunannya masih berwarna hijau. Saya kira pemandangan seperti ini akan saya temui di Caruban atau Saradan. Karena sewaktu saya kecil, ketika lewat daerah itu semacam sedang hilang di hutan mana gitu. Ternyata setelah keesokan harinya lewat Caruban, rasanya biasa saja. Seperti jalur pada umumnya. Sekarang sudah banyak bangunan.

Sedikit pengalaman dari orang tua saya sewaktu mereka muda, mereka ke Madiun dari Surabaya naik sepeda motor Honda yang kata ayah saya ‘lakik’ banget. Biasanya mereka sampai Hutan Saradan di malam hari. Sebelum memasuki area hutan, akan banyak orang berhenti disana. Bukan karena ada odong-odong lewat, tapi pada jaman itu orang-orang biasa menyeberangi hutan bersama-sama. Jadi mereka berkumpul dulu, kalau sudah banyak, para pengendara motor akan memasuki areal hutan bersama-sama, sambil bergandengan tangan lalu mengibarkan bendera Slank. Di tengah hutan mereka pada menggelar tikar, istigoshah. Hehe.

Dibandingkan dengan saat ini, tanpa menunggu pengendara yang lain, yang ada malah serobot-serobotan sama bus Mira. Hadeh, itu sopir bus kalau menyetir semacam sedang mengantar istrinya yang mau melahirkan. Sudah begitu, dia suka main serong, serong kanan, serong kiri. Marka di sepanjang jalan ini juga bikin kepala nyut-nyutan, semacam perempuan lagi ngambek sama pacarnya, sebentar nyambung, sebentar putus-putus, sedangkan bapak si cewek (polisi) lagi sembunyi di balik pepohonan, ibaratnya kalau marka jalan lagi nyambung, si bapak siap-siap menghadang. Karena kami sampai di areal hutan di malam hari, dengan brightness lampu sekitar 20%, kami bias lihat bintang bertaburan macam orang ketombean setelah tiga hari ga keramas. Malam itu malam minggu, bintang udah ada, pasangan ga ada.

Tujuan pertama malam itu adalah istirahat di rumah teman kami. Saya kaget ketika tahu bahwa rumah teman saya itu di Kecamatan Dagangan, yang artinya akan melewati desa saya. Kata ibu, dulu saya lahir di Pintu. Iya Pintu!  Itu nama desa di Madiun setelah melewati Desa Sawahan (rumah nenek saya). Sebelum melewati pedesaan yang dekat ke Ponorogo itu, kami pasti melewati pasar fenomenal sebagai ancer-ancer ke desa nenekku. Pasar Pagotan namanya, sewaktu saya kecil, rasanya perempatan pasar itu terlihat besar sekali, sekarang terlihat kecil. Mungkin sudah terbiasa dengan perempatan raksasa di Surabaya. Pasar ini menjadi tempat kenangan pertama kali ayah dan ibu saya berjumpa di sebuah lapak soto ayam. Dulunya ayah didinaskan ke kota ini, lalu bertemu ibu, hehe. Malam itu Pasar Pagotan ramai sekali.  Kata ibu, biasanya kalau ramai begitu waktunya pabrik gula buka. Memang di kecamatan itu juga terdapat  pabrik gula. Pabrik itu hanya buka beberapa kali dalam setahun. Sewaktu kecil aku menyukai pepohonan tua yang hijau keemasan di halaman pabrik gula itu, juga keretanya yang unik dengan rel silang yang menyeberangi jalan raya. Dulu kami menaiki delman dari pasar ke rumah nenek, tidak jauh juga. Bahkan dulu kami sekeluarga pernah sampai Madiun terlalu malam karena ikut bus terakhir dari Terminal Bungurasih. Sampai di pasar sudah menunjukkan pukul 21.00 malam. Setelah makan pecel sebentar di pasar, kami jalan -kaki dari pasar sampai pabrik gula. Sudah gelap, dingin pula. Malam itu sepi dan jalanan hanya dilewat pedati yang ditarik sapi dengan bunyi klinong-klinong, biasanya pedati itu juga menarik tebu. Untungnya kami menemukan dokar malam itu, pada akhirnya. Perbandingan yang luar biasa berbeda dengan Pasar Pagotan dua minggu yang lalu. Mobil yang kami tumpangi merayap pelan-pelan melewati kerumunan orang yang berjalan sesak, para muda-mudi menghabiskan malam minggu mereka melihat-lihat lapak CD dangdut dan odong-odong. Dentuman musik dangdut menjadi latar belakang dibalik ramainya suara kerumunan. Tapi keramaian itu hanya terbentang beberapa meter saja, karena setelah itu kita disambut kawasan yang banyak ditanami tebu, pabrik gula yang tetap tenang, sepi, mendekap keangkerannya sendirian. Tak banyak yang berubah dari tempat ini. Bangunannya juga tak bertambah banyak, tetap sama seperti terakhir kali kutinggalkan. Kota kecil itu tetap sepi.

Pagi harinya kami berjalan-jalan kecil di dekat rumah teman kami di daerah Joho. Ibu saya bercerita, ketika SD, ia dan teman-temannya di sekolah melakukan gerak badan (olah raga atau jalan-jalan) setiap hari Sabtu. Mereka berjalan dari Sawahan ke Joho (sekitar 10 KM). Anak SD, saudara-saudara! Katanya kalau ada yang mulai lemas dan tidak kuat boleh istirahat di tengah perjalanan lalu pulang. Biasanya titik akhir perjalanan mereka mencari kitab suci adalah di SD Joho. SD itu tetap sama seperti yang dulu, karena yang saya ceritakan ke ibu masih sesuai dengan kenangannya akan SD itu. Pada masa itu, banyak guru-guru yang mengikuti muridnya sampai sepatu pantofel mereka dilepas dan dijinjing karena sepatu pantofel jaman dulu terbuat dari kulit dan teksturnya kaku, sehingga tidak enak dibuat berjalan jauh. Dari SD Joho kami berjalan terus sampai melihat bentangan Gunung Wilis yang dikelilingi bebukitan hijau yang mulai gundul. Di kanan dan kiri kami terdapat sawah yang bertingkat-tingkat. Oh, indahnya negeriku.

Kemarin saya sedang asyik mengobrol di tengah istirahat makan siang dengan salah satu operation staff di pelayaran tempatku bekerja. Beliau bercerita betapa mirisnya keadaan negeri kita. Negara kita ini memiliki bentangan sawah yang luar biasa luas dan tersebar di penjuru negeri. Tetapi beliau mengatakan kalau kita banyak mengimpor beras dari Vietnam, India, dan Thailand. L

Oh iya, sebelum pergi meninggalkan rumah temanku di Madiun, kami semua berpamitan dengan nenek temanku. Di usia yang sangat renta, mungkin seusia nenek waktu saya kecil, beliau sangat ramah menyambut kami. Kebetulan kami sebagai tamu juga bisa berbahasa Jawa Krama Inggil, sehingga kami bisa berkomunikasi lancar dengan simbah, meskipun beliau tidak selalu menjawab dengan bahasa krama, sebagai yang lebih muda, rasanya tidak sopan kalau menjawab dengan bahasa Jawa biasa atau bahasa Indonesia. Sehingga ketika kami pulang, rasanya beliau segan melepas kami, dipeluknya erat kami sambil cium pipi kanan kiri macam sosialita begitu, hehe. Saya sendiri meskipun tidak setiap hari berbahasa Jawa Krama, tetapi saya besar di lingkungan Jawa yang kental, meskipun ayah saya orang Surabaya asli, dan ibu orang Madiun. Saat kecilpun saya terbiasa berbicara bahasa itu dengan orang yang lebih tua. Mirisnya, jangankan generasi di bawah saya, generasi yang seangkatan dengan saya saja ada yang tidak bisa berbahasa Jawa Krama meskipun orang Jawa asli. Tapi saya bangga, di lingkungan teman-teman saya, ketika kita sedang ingin berbahasa itu, kami saling berbicara dengan Jawa Krama meskipun dengan teman sebaya, kadang kami suka tertawa sendiri dengan kebiasaan itu. Yah, itung-itung latihan kalau dapat mertua Jawa asli. Hehe.

Yap, dan perjalanan spontan itupun berakhir dengan pergi ke toko oleh-oleh, ATM, dan rumah ayah angkat salah satu temanku. Saat itu beliau berpesan, “Ini semua pada belum nikah? Buruan nikah! Tunggu apa lagi, kerjaan sudah mapan, apalagi yang ditunggu?”.

Akhir kata, terima kasih.

Selamat menikmati foto-foto yang saya ambil di sepanjang perjalanan dengan ponsel pandai saya, Asus Zenfone 4S, meskipun saya tidak terlalu suka dengan warna kameranya.


hai matahari! senang jumpa kau di tanah kelahiranku!

Gunung Wilis

sawah

Gondang, Nganjuk

Into the Woods

Tectona grandis' leaves

Nganjuk

Gerabah

Tectona grandis lagi

Awas! Begal Pisang

Dua pohon cantik di depan SD Joho, Madiun

Singgah dulu

Green