13.4.13

Hamparan Ilusi Senja


Setiap pagi akan menceritakan kisah yang berbeda. Setiap orang mengartikan pagi dengan cara yang berbeda. Pagi ini, ia duduk disampingku berselimutkan jaket hijau yang sudah menyelimuti sejak tubuhnya masih dempal dan gemuk. Sehingga jaket itu tampak hanya menempel saja karena sesak kesempitan. Kini jaket itu dengan leluasa merangkul tubuh dan segenap jiwanya. Ruang-ruang yang tersisa mendekap udara dari pendingin. Kami tertidur semalaman di pinggir jalan. Akulah yang awalnya bersikeras mengajaknya ikut jalan-jalan keluar kota, merayakan mobil baru pemberian kakakku. Tak ada seorangpun yang mau kuajak kecuali ayah. Ibu sudah tak kuat lagi bepergian jauh karena diabetes membuatnya mudah buang air kecil. Kakak sibuk dengan pekerjaan barunya, yang memberi kami mobil ini. 

"Ayah laper", kebangkitannya yang tiba-tiba membuatku memalingkan wajahku dari sinar yang semburat,
"Mmm...", kutengok jam di ponselku. baru pukul 5.30.
"Sebelah itu apa? Asrama?"

Hanya ada beberapa anak laki-laki seusiaku tiduran di emper sebuah bangunan, beberapa anak perempuan sibuk duduk-duduk, ada yang tertidur. Barang anak laki-laki itu berserakan di lantai. Juga kabel-kabel yang menjuntai tak beraturan diantaranya. Telinga-telinga yang terumbat kabel-kabel putih dan hitam. Sudah bisa terduga, mereka pasti anak-anak kota yang hidupnya tergantung dengan kabel. Hanya ada satu diantara mereka yang terjaga, dari tadi aku memperhatikannya sering mencuri pandang pada mobil kami. Tiba-tiba ayah membuka pintu, berjalan menuju anak itu. Entah apa yang mereka bicarakan, anak itu nampak terkejut pada awalnya. Kemudian mereka saling berbicara akrab dan anak itu berdiri mengikuti ayah menuju kemari.

"Mereka anak PKL, dari universitas yang sama kayak kamu"
"Mmm..."
"Ini, nama aslinya ayah ndak tahu, Gibo. Ayo cari makan bareng", nama macam apa itu.

Aku keluar dari ruang persembunyianku seperti biduan termasyhur yang sejak tadi ditunggu oleh suara kamera wartawan dan karpet merah. Nyatanya hanya ada suara klurukan ayam. Kami berjalan selama beberapa meter dari mobil kami yang sembunyi dibalik kawanan bus para mahasiswa itu.

"Anak sastra, meneliti tentang batik?"
"Yah, semacam itu"

Kami duduk diantara orang-orang lokal yang sudah sarapan sepagi ini di sebuah warung pecel yang kami temukan. Gibo memesan semangkuk penuh bubur sumsum seharga 3000 Rupiah. Aku hanya menghirup teh hangat sambil melihat ayah yang lahap meremas rempeyek dengan giginya yang makin tertinggal sedikit. Mereka sibuk menyergap makanan berasap di depan mereka. Sedangkan aku masih bingung dengan desa kecil ini. Semalam kami memutuskan berhenti karena hari terlalu larut, aku tak kuat menyetir dan ayah tak bisa menyetir. Sebelah kami hanyalah padang gelap yang membiru oleh langit pukul 1 dinihari. Aku bahkan tak ingat ada bangunan mirip asrama di seberang jalan, apalagi barisan bus di depan kami. Tak ada penerangan jalan yang memberi isyarat bangunan atau apa saja yang ada di sekitar kami, sehingga hanya pagi yang mampu menunjukkan. Mereka kekenyangan. 

Kami kembali ke asrama tadi. Kami bertemu seorang nenek tua yang memandangi kami. Ayah mencoba menyapa, namun ia hanya terdiam sambil terus mengawasi. Setelah melewati warung dan beberapa rumah, kami berhenti sejenak dan memandang sekeliling. Terkejut, kutarik tangan Gibo tiba-tiba dan mengangkatnya tinggi-tinggi melawan arah sinar matahari. Kucubit pipinya yang kurus.

"Kamu manusia?"
"Awww... Kamu pikir aku jin?"
"Loooohhhh! Astagaaaaa!"

Dihadapan kami hanyalah bentangan sawah yang berbayang gelap meski kini sudah pagi buta. Kemana bangunan asrama tadi? Tak ada bus di depan mobil kami. 

"Tuhan, semalam aku tidur di sawah?"
"Gibo, telpon teman-teman kamu!"

Dengan panik, ia keluarkan ponsel-nya dan mencabut kabel yang masih tertanam diujungnya, sambil menekan-nekan tombolnya. Ia menunggu seseorang menjawab sambil menggigit-gigit ujung jempolnya.

"Mbul! Nangdi kowe?", suara orang diseberang juga terdengar jelas
"Lho, ditempat tadi"
"Tempat tadi dimana?"
"Lho, semalaman kita poker-an di depan kamar hotel"
"Kamar hotel? Mbul, semalem kita tidur depan asrama mbul, kapan kita main kartu?"
"Ojo guyon! Tak gedhor lho jedhing-e"
"Mbul, jeneng hotel-e opo?"

Kami bertiga segera masuk mobil dan dengan kecepatan tinggi kubalap segala macam yang lewat dijalanan, dokar, sepeda motor, dorkas, yang seakan-akan meledek kami dengan suara berat ala setan haus belaian "idihhh... ketipu deh situ semalem bobok sama eike" Syiiiiiiiit! 

"Pantes ya tadi ibu yang jual pecel tadi itu nanya, mas-nya darimana. Aku jawab dari asrama sebelah. Dia cuma ngangguk terus bilang, lain kali ati-ati mas. Apa maksudnya? Apa?", Gibo ngomel tak karuan.
"Pantesan juga tadi ayah ngerasa kudu ngomong aja sama anak ini, nggak tahu kenapa pokoknya ayah kudu ngomong"
"Pantesan juga bo, jangan-jangan semalem kamu di-grepe grepe setan. Bayangin aja mukanya, jelek gitu. Siapa tau dulunya dia sakit kolera, disentri, kaki gajah, hayo?", aku hanya mencoba mencairkan suasana karena aku benci ditakut-takuti. 

Hotel yang disebut teman Gibo terlihat dari kejauhan, setelah kami bertanya kesana-kemari. Tentu saja dengan manusia. Terlihat dua bus menepi nanggung di depan hotel, dengan jenis yang sangat berbeda dari yang kami lihat tadi pagi. Gagal imitasi ini setannya, atau Gibo yang rabun. Terlihat orang-orang sibuk wara-wiri di depan resepsionis. Dengan langkah pasti Gibo memasuki ruangan dan suara gaduh yang tiba-tiba terhenti, tiba-tiba gaduh kembali. 

"Giboooooooo....."
"Gembuuuuuuul..."
Dengan pipi saling menyembul mereka berpelukan lega. Ayah dan aku kini merasa seperti Sam dan Dean Winchester dalam serial New Girl. Eh, salah ya? Sekian deh.

***

*terinspirasi oleh sebut saja angga tua sakaki makio yang sempat tertipu di pulau sempu, serta keinginan road trip yang menggelegar*