14.4.19

Backpacking ke Semarang 2018


Hola.. Trip kali ini dilandasi dengan rasa penasaran karena belum pernah ke Semarang, hehe. Trip ini kami lakukan di bulan Agustus tahun lalu. Trip ini saya lakukan berdua dengan teman saya, jadi kami berbagi untuk bayar hotel, sewa sepeda motor dan pesan transportasi online. Kami sering mendengar istilah bahwa kota ini terdiri dari Semarang bawah dan Semarang atas. Karena jarak yang lumayan dari kota ke Semarang atas, kami cukup galau juga menentukan objek wisata yang akan dikunjungi karena kami memutuskan untuk menyewa sepeda motor selama disana. Berhari-hari rasanya kami membuat list tempat mana saja yang harus dikunjungi beserta kuliner yang perlu dicoba.



Kami berangkat dari Surabaya menuju Semarang menggunakan kereta api Maharani (ekonomi) yang berangkat dari stasiun Pasar Turi tujuan Stasiun Tawang seharga IDR 50.000. Perjalanan memakan waktu sekitar 4  jam 28 menit melewati jalur pantura Lamongan, Bojonegoro dan sebagainya. Kami berangkat dari Surabaya pukul 06.00 pagi. Untungnya stasiun Pasar Turi ngga begitu jauh dari rumah sehingga kami bisa naik taksi online sekitar IDR 15.000. Penderitaan naik kereta ekonomi sih cuma kaki yang ngga bisa leluasa, tapi untungnya waktu berangkat bangku di depan saya kosong. Pemandangan sepanjang jalan didominasi dengan kebun-kebun dan sawah yang kering serta pepohonan yang jarang. Karena musim kemarau di luar terlihat super panas, tetapi di dalam kereta lumayan dingin AC nya. Kami tiba di Stasiun Tawang sekitar jam 11.30 siang dan langsung ditelponin mas yang sewain sepeda motor. Kami menyewa sepeda motor sekitar IDR 75.000 per hari. Kami mendapatkan Honda Vario dengan 2 helm dan 1 jas hujan.

Selama di Semarang, kami hanya bergantung pada mbak-mbak Google Maps, karena kami benar-benar belum pernah ke Semarang. Selama membaca review beberapa blog dan bertanya ke beberapa orang, banyak yang bilang kalau jalanan di Semarang itu lumayan membingungkan karena banyak yang satu arah dan kalu salah bisa muter jauh. Berdasarkan asas “relax aja” dan “whatever will be, will be”, kami tidak terlalu takut untuk nyasar. Bisa dibilang, kami hanya beberapa kali saja menanyakan ke penduduk sekitar, paling cuma tanya masjid terdekat dimana.

Setelah bertemu dengan dua mas-mas (atau dedek ya) di depan stasiun dan sertijab (serah terima jabatan) Honda Vario, dengan agak bingung kami bertanya, “Mas, kalo dari sini ke Ibis Budget daerah Pierre Tendean lewat mana ya?”, kemudian mas-nya menjelaskan dengan semakin bingung, oke fine. Awalnya kami mencari makan siang (karena belum sempat sarapan huhu), di daftar kami, kami mencari Tahu Gimbal Pak Man di Jalan Plampitan. Karena saat itu long weekend, kami lumayan menikmati jalanan yang lengang. Setelah ketemu lokasi tahu gimbal tersebut, kami hanya bisa gigit jari, untung ngga sampai gigit spion motor.. Karena warungnya tutup, hiks. Akhirnya masih dengan perut kelaparan, kami langsung check in ke hotel.

Kami memilih untuk tinggal di hotel Ibis Budget di Jl. Pierre Tendean, karena harganya cukup terjangkau untuk kami share berdua. Karena kami menginap selama 2 malam, maka masing-masing cuma bayar semalam sekitar IDR 250.000 aja sudah termasuk sarapan. Meskipun tergolong murah, fasilitasnya tergolong nyaman buat kami. Bahkan kalau punya kos-kosan kayak hotel ini, temen saya ngga mau kemana-mana ahahaha. Di dalam hotel itu kita mendapat 2 single bed, TV sekitar 22 inch (kayaknya), air mineral 2 botol per hari, toiletries berupa sabun mix shampoo dan handuk. Sandal hotel ngga include, tapi kita bisa beli sekitaran IDR 5000.

Kesedihan kembali menyelimuti karena kami belum bisa check in, karena belum ada yang ready kamarnya. Padahal di kereta kami sudah telpon ke hotel untuk memastikan apakah sudah ready kamarnya, maksud kami sih kalau belum, kami mau jalan-jalan dulu dan ngga bolak-balik hotel. Akhirnya kami nongkrong di lobby beserta beberapa kelompok anak muda lain yang sedang menunggu check in juga. Karena lapar yang mendera, akhirnya kami memutuskan untuk pesan Go Food tahu gimbal dekat hotel. Bumbunya sih antara mirip pecel sama tahu tek Surabaya tetapi dengan isian gimbal udang. Rasanya kami jadi penasaran di Surabaya ada yang jual tahu gimbal dimana.

penampakan tahu gimbal
Setelah makan, kami memutuskan untuk sholat dhuhur di Masjid Agung Jawa Tengah yang jaraknya sekitar 5 Km dari hotel. It’s a huuuuuuge mosque. Masjid yang ada payung-payungnya kayak di Madinah. Tapi sayangnya pas kami kesana payungnya lagi kempis, hehe. Pelatarannya sangat luas. Arsitekturnya unik dengan atap limas mirip rumah-rumah Jawa dan payung  ala Masjid Nabawi di Madinah. Ketika kami sampai di pelataran masjid, kami sudah disambut dengan seorang asatidz yang sedang menyampaikan dakwah terdengar dari pengeras suara. Feels like home in Allah’s home. J Setelah sholat dan berdo’a, kami menuju ke pelataran masjid lagi untuk foto-foto.






Karena cuaca yang super panas (hampir sama dengan Surabaya), kami memutuskan untuk segera mandi sesampainya di hotel. Setelah mandi dan sholat Ashar, sebenarnya kami masih agak bermalas-malasan karena cuaca di luar panas dan agak lelah juga beraktivitas dari pagi. Akhirnya kami baru keluar hotel lagi sekitar pukul 4 sore. Kami bergegas menuju Lawang Sewu, ikon terkenal Kota Semarang yang hanya berjarak 1 Km dari hotel. Karena niat kami kesini cuma foto-foto, jadi kami tidak menyewa guide. Kami hanya berkeliling saja, dan beberapa spot memang terasa agak menyeramkan meskipun disitu kami tidak sendirian. Bangunannya luas dan sangat khas ala kolonial. Gedung ini dulunya merupakan gedung kantor Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij. Sekarang gedung ini difungsikan sebagai semacam museum tentang per kereta api an. Karena saya paling suka banget lihat foto-fota lawas hitam putih, lumayan menikmati banget melihat foto-foto sejarah kereta api di gedung ini. Sebuah pengetahuan yang baru banget. Dan saya baru menyadari saja, ternyata sejarah tentang Indonesia yang sesungguhnya justru saya pelajari di luar bangku sekolah. Banyak bagian di dalam museum yang terkesan gelap dan mencekam, terutama di balik megahnya kaca patri yang menggambarkan keindahan Pulau Jawa, 










Selanjutnya, kami memutuskan untuk kulineran di Pasar Semawis setelah mencari masjid untuk Sholat Maghrib. Di Semawis kami hampir tidak mendapatkan tempat duduk. Saran saya sih kalau kesana lagi, datang aja habis Maghrib pas, trus kalau kita datang bareng temen, suruh temen kita duduk sendiri, trus kita berkeliling secara bergantian. Karena waktu itu pertama kali kesana maka kami berkeliling bersama dulu sambil memutuskan mau beli apa. Kami tercengang dengan banyaknya makanan yang ingin kami beli. Konsep pasar ini cukup unik, semacam pasar kuliner malam di area Pecinan. Kalau di Surabaya mungkin kayak diadain di Kya Kya/ Kembang Jepun. Dan jalanan Kembang Jepun kan lebih lebar tuh, kayaknya bisa banget dibikin kayak Semawis ini. Suasana Pecinan di Semawis ini semakin terasa ketika ada beberapa orang tua sedang berkaraoke menyanyikan lagu berbahasa Cina. Makanan yang dijual juga beragam, ada bakar-bakaran BBQ, Gurita bakarnya recommended banget, makanan tradisional Pisang Plenet juga ada. Meskipun kami hanya makan printilan-printilan begitu, ternyata kenyang juga. Semakin malam, pasar semakin padat dan susah dibuat jalan. Akhirnya kami pulang setelah kekenyangan.



Sepulang dari Semawis, kami tawaf mengelilingi kota lama untuk survei lokasi, tempat mana yang akan kami kunjungi keesokan harinya. Sampai kami pun sempat mencetak tiket kereta di Stasiun Tawang untuk pulang ke Surabaya.  Suasana kota lama dimalam hari juga creepy. Meski begitu banyak terdapat penyedia jasa pijat capek-capek di pinggir jalan. Telihat beberapa orang sedang berbaring sambil dipijit diiringi angin malam yang semilir. Mereka hanya beralaskan tikar di pelataran bangunan lama, terlihat juga beberapa pemijit yang sedang terdiam menunggu pelanggan. Tiba-tiba kami tidak sengaja berhenti di dekat salah satu pemijat, karena suasana yang remang-remang, kami melihat sekeliling samar-samar. Beberapa pemijat ada yang memanggil kami, ada juga yang memandangi gerak-gerik kami. Serem guys, tempatnya remang-remang, takut dicolek jin.

Keesokan harinya kami bersiap untuk pergi agak jauh, ke Cimory on the Valley di Semarang atas. Jaraknya cukup jauh dari hotel kami, sekitar 30 km atau ditempuh kira-kira 1 jam. Kami berangkat sekitar pukul 08.00 pagi. Jalanan ke arah Cimory lumayan nyaman beraspal tetapi naik turunnya juga lumayan bagi kami yang cuma biasa berkendara di jalanan kota. Kita perlu berkendara dengan hati-hati karena banyak truk lewat di daerah ini dengan kecepatan yang lumayan. Setelah sampai di Cimory, kami disambut udara yang sejuk, meskipun tetep aja panas. Tapi lumayan terasa hawa pegunungannya. Di sini kami berkeliling buat foto-foto, terdapat banyak hewan-hewan seperti kuda poni, kura-kura, domba, dan kelinci. Selain itu kami juga sempat makan-makan di restorannya yang unik. 








Sarapan di Cimory Restaurant
Kami kembali  ke kota menjelang Dhuhur. Saat itu kami sempat tersesat ketika mengikuti Google Map. Kalo feeling aku sih kita balik aja ke arah kita berangkat tadi. Tapi ketika mbak parkir dan Google Map meyakinkan kami untuk jalan terus aja daripada putar balik ke tempat kami berangkat, akhirnya kami masih berpikiran positif. Setelah hampir masuk tol, kami pun malah tersesat ke jalanan menanjak dengan hutan jati dikanan kiri tanpa peradaban, saya pun mulai curiga. Akhirnya kami puter balik dan memutuskan kembali ke jalur kami berangkat tadi. Karena mulai pusing dengan ulah Google Map ini, kami memutuskan berhenti sejenak dan Sholat Dhuhur di sebuah masjid di daerah Ungaran. Setelah sholat, kami membuka Google Map lagi dan menemukan titik terang untuk kembali ke kota. Alhamdulillah akhirnya kami kembali ke kota.


Masjid Istiqomah Ungaran
Sesampainya di kota, kami segera meluncur ke Jalan Karanganyar, di depan SMA Loyola. Terdapat penjual lekker yang terkenal dan dari kejauhan terlihat dikerubungi banyak pembeli. Terkenal dengan nama Lekker Paimo, review-nya di media sosial dan internet juga bagus. Awalnya kami dikagetkan dengan antrian yang begitu panjang. Begitu datang, kami menulis pesanan di kertas lalu ditumpuk di depan bakulnya (kayak ngumpulin kertas ujian aja), lalu mereka akan memanggil kita begitu pesanan sudah siap. Kami antri dari jam 1 siang sampai dengan hampir jam 3 sore belum juga dipanggil. Kebanyakan yang antri adalah anak-anak muda yang sepertinya berasal dari luar daerah Semarang, karena logatnya lebih ke Jakarta an gitu. 

Daripada menganggur nunggu disini doang, kami pun meninggalkan bakulan tersebut menuju kota lama. Dengan perasaan yang gambling, kalau kami kembali bakulnya sudah pergi kami ikhlas. Kami memutuskan Sholat Ashar di dekat kota lama, disana ada koramil atau semacamnya. Kami melewati beberapa pedagang barang-barang antik saat perjalanan menuju musholla.  Bahagianya kami merasakan musholla super bersih dan ber AC. Begitu nikmatnya hembusan AC setelah seharian dibawah terik matahari dan bau jalanan. Kami pun berjalan-jalan di sekitaran Taman Srigunting dan Gedung Marba. Nampaknya di depan Gedung Marba masih dalam proses renovasi. 









Gereja Blenduk / GPIB Immanuel



Setelah selesai berfoto-foto, kami pun kembali ke Paimo. Memang rezeki tidak kemana, begitu sampai disana, ternyata pesanan kami masih akan dibuatkan. Saya memesan lekker isi tuna dan telur, enak bangeet. Kalau disini sih, lebih menyarankan untuk pesan lekker yang isinya rasa asin alias telur dengan bermacam pilihan yang lain. Kalau yang rasa manis nya seperti nutella atau keju atau pisang, saya sih lebih suka lekker yang sering dijual depan SD di Surabaya, karena relatif lebih murah dan enak.


Sepulang dari Paimo kami sempat Sholat Maghrib di sebuah masjid kecil di gang kecil dekat Lekker Paimo. Agak lama juga kami menunggu orang-orang berkumpul untuk sholat. Kalau di masjid pada umumnya, orang-orang berkumpul dan siap untuk sholat setelah adzan berkumandang pas. Namun disini kami lumayan agak lama menunggu warga untuk berkumpul sholat berjamaah. Imamnya juga arabnya agak kejawa-jawaan, kalau kata ibu saya kayak ngajinya orang jaman dulu. Kalau bilang Alamin jadi Ngalamin.. Setelah hampir satu jam kami di masjid, sampai-sampai sepeda motor yang tadinya kami titipin tukang parkirnya Paimo, kami kira akan memakan waktu sebentar karena tadinya kami ninggal pas mepet mau adzan. Eh ternyata malah dia nungguin kita dan bakulannya udah kabur tak berbekas hahaha. Gini banget ya antri beli lekker.

Selanjutnya kami meluncur ke Toko Oen. Tempatnya cukup memenuhi syarat atas imajinasi saya tentang restoran jaman dulu. Apalagi saat itu di seberang meja kami ada sekeluarga berwajah kebaratan (kalau dari bahasanya sih mereka ngomong Bahasa Belanda. Maklum gini-gini saya pernah ambil kuliah Bahasa Belanda meskipun paham sekadarnya). Mereka terlihat asyik menikmati makan malam lengkap dengan anak-anak mereka yang berlarian kesana kemari. Pemandangan itu di tempat bersejarah ini membuat suasan semakin terasa jaman dulunya. Cuman, mbak waitress nya agak jutek sih dan sekeluarga di sebelah kami juga sempat mengalami hal tidak mengenakkan. Mbaaak, kita kan juga bayar sih mbaak, pake duit L. Tapi kami tidak terlalu memperdulikan pelayanannya sih (apakah mungkin karena wajah kita yang kayak cabe-cabean seharian dibawah terik matahari yang terlihat tidak mampu makan di tempat ituhh, sedih). Kami cukup menikmati es krim dan bitterballen nya. Tapi yang aku ingat malah bapak parkirnya yang baik banget hehehe.



Setelah puas berkeliling seharian, kami kembali ke hotel dan temenku udah di whatsapp terus sama mas-mas yang ngambil sepeda motornya. Agenda kami selanjutnya adalah pesan Go Food Nasi Goreng Babat Hengky yang terkenal itu. Sesampainya di hotel, bapak nya curhat karena antriannya panjang (karena masak menggunakan arang) dan bapaknya sudah ditelponin istrinya kenapa ga pulang-pulang. Aduh, maaf banget pak. Kami pun dengan lahap menghabiskan nasi goreng yang porsinya buanyak itu sambil nonton pembukaan Asian Games.

Nasi Goreng Babat Hengky

Hari terakhir di Semarang kami sempatkan untuk beli oleh-oleh. Kami memesan Go Car ke Pasar Pandanaran. Kami membeli Otak-otak Bandeng dan Bandeng Presto. Antriannya panjaaang banget. Kami juga sempat membeli lunpia Semarang. Kami juga sempat nonton TV sambil makan lunpia sebelum bergegas ke Stasiun. Kita malah asyik nonton Film Doraemon sama Drama Korea The Heirs yang lagi tayang di TV.

sarapan terakhir di hotel


* Semua foto diambil dengan Xiaomi Redmi 4A