24.11.13

Prasangka


Lebih mudah berdiri gagah tersapu angin yang mengiringi awan teduh. Lebih mudah berdiri gagah secara harfiah. Kupinjam loteng tetanggaku sejenak hanya untuk melihat garis lurus yang terbentang horizontal di depanku. Ia menyerahkan diri terinjak kawanan roda yang hendak menuju ke kota atau ke desa. Aku rasa, kehadiranku di ketinggian ini hanya untuk melihat garis merah yang membentangkan permadani untuk bulan malam ini. Tapi perkiraanku kurang tepat. 

Aku hanya ingin melihat langit menyediakan keindahannya untukku. Hal yang sedikit diberikan oleh kehidupan padaku. Apa yang diharapkan dariku. Beberapa waktu yang lalu aku terpana, keperawananku sendiri telah pergi sambil kupegangi erat kakinya. Aku terseret mempertahankannya, namun ia pergi tanpa menangisiku. Ia tertawa dibawah pengaruh senyawa kimia. Lalu pergi sebelum menendangku kemari. Tempat yang kecil dan bising, dimana semua mata ikut menendangku pada sudut yang lembab dan berhantu. Bila hidup terasa pahit, aku menguyah ampas tebu dan tetap menjangkau rasa pahit itu. 

Kilasan-kilasan balik itu terus berputar di otakku. Seperti ada yang merekamnya untukku. Seandainya saja kutemukan sejak lama  tombol yang bisa kuinjak untuk menghapusnya. Karena layar besar itu bukan hanya memantul-mantul di otakku, namun pada semua otak orang-orang disini. Mereka terus mengejarku. Mereka akan mempunyai nama panggilan baru tentangku di benak mereka masing-masing. Siapa yang peduli. Aku-pun mencoba pergi dari sini sejak televisi sedang bingung menyebarkan kabar bahwa bahan bakar minyak akan segera naik. Aku hanya butuh bahan bakar ingatan.

"Ranti!", dengan cepat kutengok asal suara itu.
"Hei"
"Sejak kapan disini?"

Seorang laki-laki kurus bertelanjang dada memanjatkan kakinya ke atas sini. Ia terlihat lebih tua dari hari kuseret koperku keluar dari ujung jalan itu. Terlebih dulu dinaikkannya sebuah ember penuh dengan baju basah. Sementara di kejauhan mulai terlihat lampu jalan bebas hambatan yang menyala serentak dalam jentikan jari, seketika. Sesaat itu pula, langit menjadi satu nomor lebih gelap. Sambil terus menghembuskan angin terbaiknya, mengobati jiwa-jiwa yang kecewa akan absen-nya gelaran karpet merah sore ini.  

"Mmm... Sejak kemarin"
"Sejak kemarin di loteng sini?"
"Ha! Kapan terakhir kali kamu menertawakan kesalahan dalam menangkap maksud dari sebuah percakapan?"
"Wow, santai!"
"Orang-orang masih menganggapku bodoh?"
"Pada dasarnya, mereka sudah melupakanmu"
"Waktu yang menyembuhkannya, ha?"
"Bukan. Karena kamu bukan siapa-siapa"

Siapa bilang aku seorang perawan (tak lagi) yang dipaksa putus sekolah? Aku hanyalah benda diam yang sekian lama berdiri di atas sini. Aku hanya merasa ingin memposisikan diri seperti wanita yang pernah menangis di atas sini, semalaman. Keesokan harinya ia berlagak seperti sedang penasaran dengan anatomi tubuhnya sendiri. Ada sebilah pisau dapur pada tangan kanannya. Kujauhkan pandanganku dari sana. Aku selalu merekamnya, semua yang telah ia ceritakan, pada malam-malam itu. Lalu ia menemaniku selama beberapa bulan setelah tubuhnya terbenam tanah basah di bulan basah. Kadang ia menyesal, ia mengandung udara di perutnya. Tak ada apa-apa disana. Kadang ia merasa semua akan lebih baik jika saja ia membiarkan ada udara mengalir dan menghidupi tubuhnya.

"Penderitaanku, tak ada apa-apa dibandingkan jutaan orang yang mengalami hal lebih buruk dari ini di luar sana. Dan mereka masih bertahan."

"Harusnya, orang-orang yang menerima lebih banyak nikmat dariku, mereka harusnya berbahagia. Kita tak akan bisa menikmati kelebihan nikmat itu sampai ia terenggut paksa dari kehidupan kita"

Namanya Riyanti, ia menangis hebat di usia sembilan belas tahun. Orang tuanya berpisah, ia diperkosa dua hari sebelum ia datang kemari untuk pertama kali. Ia lulus Sekolah Menengah Atas, tak sempat melanjutkan kuliah. Ia ingin menjadi psikolog. Ia terbunuh oleh prasangka, bahwa hidup akan lebih baik ketika mengakhiri selalu menjadi sebuah solusi dari sebuah kecelakaan maut antara realitas dan hal yang menurutnya ideal. 

12.11.13

Bila Pagi

Bila pagi mengandung kabut
Lelehan getah turun menyusun embun
Berdecak-decak melawan penyakit semu

Kristal yang dibelai kasar
Berpendar dan menusuk lebih dalam
Tak 'kan pilu dan tak akan pernah pilu

Karena dulunya senja, tak pernah jauh dari pertengahan
Pekatnya identitas yang beriringan
Langkah kusut di trotoar jalanan

Dahulu, tak ada manis yang terlampau hangus
Kini, tak ubahnya gua-gua jiwa yang runtuh
Lagi-lagi terasing di pagi yang disabung malam

Ayolah, kita melompat menepuk sinar matahari
Sekali ini kita saling tinggalkan jurang yang dingin
Berdinding rongsokan

____________________________________________

Surabaya, 26 Maret 2010, 02.00 WIB

Puisi ini saya buat untuk sahabat-sahabat saya, dan kami akan bertemu akhir pekan ini. Ada yang telah pulang dari rantauan serta berbagai kesibukan sudah memisahkan kami bertahun-tahun. Semoga akan ada banyak cerita baru. :)

4.11.13

Where The Wild Creatures Are


Dulu teman saya ada yang pernah bilang kalau dia ingin naik jerapah. Saya kira itu merupakan ide yang amat koplak, namun kini saya paham apa yang dia rasakan. Saya sendiri juga bingung mengapa saya benar-benar suka jerapah. Menurut saya mereka adalah makhluk yang cantik sekaligus kuat. Waktu kecil saya pernah membaca bahwa dua kaki depan jerapah dapat meremukkan sehelai singa. Kadang saya seringkali bermimpi sedang berada di padang sabana yang luas di sore hari. Mungkin suatu hari nanti cita-cita saya ke Afrika akan segera terlaksana (ahahahaha). Baru-baru ini di TV ada iklan minuman bersoda yang mengadakan kuis liburan ke Afrika, dan saya akan ikut berpartisipasi, doakan ya. 

Sebenarnya saya membuat posting-an kali ini bukan cuma karena saya rindu jerapah. FYI, jerapah di atas adalah jerapah di KBS yang saya foto pada akhir tahun 2010. Waktu itu saya baru membeli kamera dan sedang impulsif dan ingin lihat jerapah. Sayang bertrilyun-trilyun sayang, semua file foto di KBS pada hari itu hilang karena corrupt. :( Semua foto di posting-an ini saja yang tersisa. Di KBS-pun kini sudah tidak ada jerapah, sejak jerapah terakhir mereka telah berpulang akibat keracunan. Kutitipkan salammu nak jika suatu saat hamba ke Afrika. Mungkin sudah banyak orang yang bercerita tentang Kebun Binatang Surabaya, semua yang buruk. :(

Meskipun sejak kecil saya senang berkunjung ke kebun binatang, kadang ada perasaan semacam sudden sad ketika melihat mereka terperangkap di dalam kandang. Hal yang paling saya takuti biasanya ketika ada gajah marah sambil meraung-raung dan mungkin terdengar sambil menggebrak-gebrak kandangnya yang besar. Setelah berbagai kasus Kebun Binatang dan semakin beredar luas di media tentang penyiksaan terhadap berbagai macam hewan. Entah kapan saya akan berkunjung ke kebun binatang lagi, bahkan saya mulai berpikir kearah apakah kebun binatang itu, tempat penyimpanan binatang itu adalah tempat yang ber-peri kehewan-an. Bahkan di luar sana banyak orang yang menyiksa hewan demi mengepulnya dapur mereka, seperti dulu saya pernah nge-twit "Some people do harsh thing for a living". Contohnya mencabuti bulu angsa untuk bantal, tapi angsa-nya dibiarkan hidup setelah bulunya dicabuti, ada pula gajah yang dibunuh demi diambil gadingnya. Why people, why? Ada juga yang mengumpat-umpat di twitter, mengutuki, dan semua pisuhan dari A sampai Z keluar setelah melihat hal semacam itu. Tapi kayaknya percuma juga. Kadang saya menyadari, sejahat-jahatnya hewan buas, manusia bisa jadi jauh lebih ganas. Kadang saya-pun fantasizing, bahwa orang-orang yang menyiksa hewan itu, suatu saat di akhirat bakal dipertemukan sama hewan-hewan yang pernah mereka siksa (mohon berikan pengecualian terhadap kami yang menyiksa nyamuk dengan mengoleskan autan maupun menyemprot baygon).