8.2.14

Peta Dunia di Dinding Kamarku



Hari ini kau terlihat kedinginan. Beruntung aku tak melekatkanmu pada sisi dinding yang biasanya bocor. Beberapa bulan yang lalu kau kurobek dari kawananmu. Hanya karena kau meniru rupa kulit bumi dari ketinggian Tuhan barangkali. Aku belum pernah menodaimu. Jika kupanjangkan garis lintangmu satu persatu, dinding kamarku jadi kotor. Lagipula buat apa aku melakukan itu. Aku hanya tak tau harus mengatakan apa padamu. Permukaanmu yang bergelombang meniru laut di tubuhmu.

Jika hari itu tiba. Aku memulai perjalanan dari garis sisi timur. Garis itu yang membelahmu jadi dua. Dari sana aku ingin ke barat laut. Jika langit akan mementaskan cahaya utara, aku akan duduk manis tanpa berkata-kata. Maka aku menekan ujung jariku di atas tubuh kertasmu ke barat laut.

Lalu kumundurkan lagi langkah jariku ke selatan. Tadi aku telah khilaf, lupa akan kewajiban mengantar orang tuaku ke tempat ini. Kurebahkan jariku di tenggara Laut Tengah. Sejenak kupejamkan mataku. Kubayangkan air muka ayah dan ibuku. Kuharap kerutan di wajah mereka masih tetap sama saat kami tiba disana.

Dari sana aku kembali ke barat laut lagi. Kubayangkan sebuah gedung tinggi memayungi keningku. Entah untuk melindungku dari apa, karena matahari sedang tak menempel di langit. Kupejamkan lagi mataku yang sudah terpejam. Rambutku tersibak oleh langkah orang-orang yang berbicara dengan suara udara di tenggorokannya. Kubuka perlahan mataku di dalam imajinasi itu. Ada hamparan kecil bunga warna-warni. Bunga yang sudah lama ingin kusentuh.

Ujung telunjukku tiba-tiba terseret ke barat daya. Bau menyengat tersedot ke dalam hidungku seketika. Aku suka bau rumput kering. Mataku masih terpejam namun kakiku tak menginjak tanah. Aku terus menggerakkannya namun tak ada apa-apa dibawah telapak kakiku. Kuraih apapun yang ada di depanku. Kulingkarkan lenganku pada benda itu. Nampaknya ia berdenyut lamat-lamat. Kubuka mataku dalam imajinasi itu. Aku sedang menunggang hewan yang tinggi dengan bercak coklat di kulitnya. Aku naik jerapah! Dedaunan akasia tiba-tiba ikut menggerayangi wajahku. Padang coklat keemasan yang luas sedang mengawasiku dengan lembut.

Kuhela nafasku sejenak, aku rindu rusa-rusa di rumahku. Telunjukku terduduk sebentar. Ia mengembangkan layar sebentar sambil mengikuti arus Samudra Atlantik. Ia terdampar di bawah bayang dedaunan. Mereka mengusik mataku yang terpejam. Kubuka mataku perlahan. Kulihat sekeliling. Aku berada di rumah. Sebelum kembali ke barat laut, kusandarkan telunjukku sejenak. Kemudian ia mulai berkeliling pekarangan rumah, Indonesia.

Untuk peta dunia di kamarku. Aku akan kembali ke barat laut sambil membawamu. Hanya saja kali ini aku akan membawa peta lain. Peta rumahku sendiri.