17.5.15

Oh, Mountain!

Sudah berapa dekade lamanya tidak menulis di blog ini. Hiks. Dalam beberapa bulan saja, banyak hal yang berubah. Begitulah hidup. Patut dipertanyakan jika kita selalu ingin dalam situasi yang sama, yang aman-aman aja kalau bisa selamanya. Jangan.

Baru sebulan yang lalu (mau dua bulan ini) pindah kerja ke tempat yang baru di Surabaya. Betapa bahagianya berkantor dekat rumah, sekaligus banyak pelajaran yang 'mau gak mau' harus terlahap. But, thanks for problems that makes us bigger (not my stomach). Awalnya bahagia sekali punya teman-teman kerja yang seusia dan 'welcome', meskipun harus bersama sebulan saja. Perjalanan yang mau saya tulis ini juga berkaitan dengan mereka.

Ceritanya hari itu kami berencana pergi ke Gunung Bromo, tepat sehari setelah kepergian kawan-kawan lama. Haha. Dan manifest ekspor sedang menggunung menjelang long weekend. Tawaran pergi ke Bromo ini datang pada hari Senin oleh sebut saja namanya Pak BudiL alias Pak Budi Logistics dan langsung saya 'iyain ajah' karena saya belum pernah sama sekali ke Bromo. Akhirnya hari Kamis dari kantor kami berangkat juga. Awalnya saya ga punya ide akan pergi dengan berapa personil dan siapa saja. Ternyata selain dengan beberapa teman yang saya kenal, juga ada anak yang dulu kerja di tempat saya sekarang ini. Sepanjang perjalanan kami tertawa tanpa henti. Mobil yang di nahkoda in sama Mas Hakim malam itu berubah jadi warung giras gara-gara playlist dia yang dangdut sekali, cocok untuk senam kejut maupun latihan gimnastik. Namanya juga anak gaul pelayaran, jadi yang dibahas ga jauh-jauh dari container dan spesiesnya.

Awalnya untuk naik cari jeep hardtop, kami melewati jalanan yang berkelak-kelok layaknya jalan hidup kami. Dan terus naik sampai betis Mas Hakim semakin memuai. Haha. Tempatnya juga  lumayan seram (namanya juga jam 1 malam). Karena waktu itu long weekend, maka kami ga bisa lihat sunrise di penanjakan. Akhirnya kami diturunkan dekat Seruni Point. Oh iya, FYI sewa jeep pada waktu itu Rp 650.000 untuk 8 orang, belum termasuk tiket masuk. Saya sih belum pernah naik via Penanjakan. Kalau via Seruni Point, naiknya sih susah pas awal-awal saja karena sedikit curam. Tetapi nanti kalau sudah agak tinggi ada tangganya.

Dulunya sih saya belum pernah manja kalau naik gunung. Tetapi semenjak pada minggu itu juga saya ke dokter di kantor ayah, coba tensi dan ketahuan kalau saya anemia dan hipotensi, ditambah lagi pada saat itu saya belum makan apa-apa, terakhir makan ya makan siang hari sebelumnya plus belum beli obat penambah darah. Akhirnya, yang terjadi adalah wajah saya berubah jadi pucat, badan lemas dan mata berkunang-kunang. Untungnya teman saya bawa teh botolan yang manis. Hal itu juga terjadi ketika naik ke kawah Gunung Bromo. Bahkan nausea saya semakin menjadi-jadi sehingga saya muntah dua kali. Apalagi sebelumnya saya banyak minum pocari sweat karena takut lemas lagi. Jadilah rawon sarapan pagi itu terbuang sia-sia, huhuhu.

Saya selalu suka gunung sejak kecil. Meskipun kalau diajak untuk mendaki gunung, saya akan berpikir dua kali. Apalagi dengan kondisi saat ini. Rasanya penyakit yang baru muncul ini telah menghilangkan keperkasaan saja. Haha. Tetapi mendaki gunung itu bisa juga diibaratkan jalan hidup kita. Kalau ingin hidup yang selalu upgrade, kita harus rela capek untuk mendakinya. Pada akhirnya , pemandangan di atas benar-benar membayar rasa lelah kita. Everyone has the ability to goes up. It depends on how you prepare anything. Contohnya, kalau kamu punya penyakit, kamu tahu bekal apa saja yang harus dibawa.

Selain melihat matahari terbit di Seruni Point, kawah Bromo dan Pasir Berbisik, kami juga pergi ke Bukit Teletubbies. Bukit ini sebenarnya adalah hamparan sabana yang dipagari bebukitan hijau nan indah berselimut kabut. Semalam, saat kami dalam perjalanan memang sedang hujan deras. Namun kabarnya jika ada hujan deras, makan suhu udara di dekat Bromo akan sedikit lebih hangat.

di padang sabana yang menghijau di musim penghujan

be free! life's good. 

view from Seruni Point before sunrise

Seruni Point di Pagi Hari

ini bunga apa ya?

Going down from Bromo Crater

Ijooookkk

Tired and happy faces :D

Really love this journey, nature and happy friends are always the best combination for your little escape from reality. :)

30.3.14

Vague, Obscure, Whatever



Lately, I feel so empty. No dream. Hazy.

I found myself lying down a prairie. Runaway from a tiring daily routine. Waking up on 5 a clock and I remind the sun that the morning comes early for me as usual. Ah, I'm just smashed down by boring days and realities. That's all. I'm young but there are many things that I have to know earlier than anyone in my age, take a good care of everything in my family. This is how it feels to be a backbone. I've tried  it all when I was in college. Now I'm facing the real one.

My father's condition is quite unwell lately, but thank god his new doctor reduce the dosage of his medicine and he's recovering now. The previous doctor gave excessive medication. When you have very (literally) old parents, you've got to be ready that they will leave you step by step. They won't speak clearly again, they are addicted to doctor's prescriptions (they're all expensive, pfftt..), they move very slowly, they won't remember where the last time they put their glasses, their hands are shaking when  hungry, memory loss, etc. All I heard in my young years are old people dying in doctor's waiting room because they told me stories about aging associated diseases such  diabetes, cardiovascular disease, hypertension...That's never been easy to me, people you love the most are fighting against disease and still.. financial problem.

Recently I met new wonderful people from my new office. They told me stories about how they fought from the dark for the sake of "Hold on, we won't be starve to death tomorrow". They told me that young years are meant to be a battlefield to be what we want. Some of them told me to enjoy my youth, or it'll pass quickly as a snap. My biggest fear is getting old to soon. Weird. Since everyone's heading to the time where the sky will be no longer blue and clear.

The responsibilities changed my point of view about life and the future. It's greater than before, but I know, I just want to be a good kid to my parents. They sacrifice everything for me, and I have to do the same. What am I without them. Every day on our way to work, My superior and I, we often laugh in the car about how hard life is. That's just our way to express funny and stupid things behind the sadness. Because one day, we still laugh it off, the struggle we won't forget. All we need is patience. But I know one thing, God is always kind and generous to us. Then, how long can we run? Because we've got to run. I'm 22 and I don't want to waste my young years.

Meanwhile, I have something for you. Yes, my kind of special 'you' out there, tell me that we're running horizontally right now, to find each other. This is my favorite song for you:

8.2.14

Peta Dunia di Dinding Kamarku



Hari ini kau terlihat kedinginan. Beruntung aku tak melekatkanmu pada sisi dinding yang biasanya bocor. Beberapa bulan yang lalu kau kurobek dari kawananmu. Hanya karena kau meniru rupa kulit bumi dari ketinggian Tuhan barangkali. Aku belum pernah menodaimu. Jika kupanjangkan garis lintangmu satu persatu, dinding kamarku jadi kotor. Lagipula buat apa aku melakukan itu. Aku hanya tak tau harus mengatakan apa padamu. Permukaanmu yang bergelombang meniru laut di tubuhmu.

Jika hari itu tiba. Aku memulai perjalanan dari garis sisi timur. Garis itu yang membelahmu jadi dua. Dari sana aku ingin ke barat laut. Jika langit akan mementaskan cahaya utara, aku akan duduk manis tanpa berkata-kata. Maka aku menekan ujung jariku di atas tubuh kertasmu ke barat laut.

Lalu kumundurkan lagi langkah jariku ke selatan. Tadi aku telah khilaf, lupa akan kewajiban mengantar orang tuaku ke tempat ini. Kurebahkan jariku di tenggara Laut Tengah. Sejenak kupejamkan mataku. Kubayangkan air muka ayah dan ibuku. Kuharap kerutan di wajah mereka masih tetap sama saat kami tiba disana.

Dari sana aku kembali ke barat laut lagi. Kubayangkan sebuah gedung tinggi memayungi keningku. Entah untuk melindungku dari apa, karena matahari sedang tak menempel di langit. Kupejamkan lagi mataku yang sudah terpejam. Rambutku tersibak oleh langkah orang-orang yang berbicara dengan suara udara di tenggorokannya. Kubuka perlahan mataku di dalam imajinasi itu. Ada hamparan kecil bunga warna-warni. Bunga yang sudah lama ingin kusentuh.

Ujung telunjukku tiba-tiba terseret ke barat daya. Bau menyengat tersedot ke dalam hidungku seketika. Aku suka bau rumput kering. Mataku masih terpejam namun kakiku tak menginjak tanah. Aku terus menggerakkannya namun tak ada apa-apa dibawah telapak kakiku. Kuraih apapun yang ada di depanku. Kulingkarkan lenganku pada benda itu. Nampaknya ia berdenyut lamat-lamat. Kubuka mataku dalam imajinasi itu. Aku sedang menunggang hewan yang tinggi dengan bercak coklat di kulitnya. Aku naik jerapah! Dedaunan akasia tiba-tiba ikut menggerayangi wajahku. Padang coklat keemasan yang luas sedang mengawasiku dengan lembut.

Kuhela nafasku sejenak, aku rindu rusa-rusa di rumahku. Telunjukku terduduk sebentar. Ia mengembangkan layar sebentar sambil mengikuti arus Samudra Atlantik. Ia terdampar di bawah bayang dedaunan. Mereka mengusik mataku yang terpejam. Kubuka mataku perlahan. Kulihat sekeliling. Aku berada di rumah. Sebelum kembali ke barat laut, kusandarkan telunjukku sejenak. Kemudian ia mulai berkeliling pekarangan rumah, Indonesia.

Untuk peta dunia di kamarku. Aku akan kembali ke barat laut sambil membawamu. Hanya saja kali ini aku akan membawa peta lain. Peta rumahku sendiri.